Dari eksil menjadi bintang pop Cekoslowakia: Sebuah wawancara dengan Rony Marton

Rony Marton merupakan nama yang asing di Indonesia, namun lain ceritanya di Cekoslowakia era 70an. Di sana, nama Rony bak magnet.

Cendekiawan ini sedang menempuh pendidikan di Eropa ketika Jendral Suharto merebut kekuasaan dari Presiden Sukarno tahun 1965. Di bawah pemerintahan Suharto, ratusan cendekiawan Sukarnois dicekal pulang ke tanah air. Alhasil mengakibatkan episode pengurasan tenaga terampil (brain drain dalam bahasa Inggris) terparah dalam catatan  sejarah Indonesia.

Selepas studi, dia kemudian menjadi bintang pop era 70an. Rony baru bisa kembali to Indonesia setelah Suharto dipaksa turun tahun 1998.

Juke Carolina dari Global Voices Indonesia berkesempatan berbincang dengan Rony Marton yang kini tinggal di Praha tentang perjalanannya dari Asia ke Eropa dan bagaimana dia menemukan popularitas di negeri adopsinya.

Rony Marton dalam salah satu penampilannya di depan publik Cekoslowakia. Photo koleksi pribadi, digunakan seizin pemilik.

Global Voices (GV): Halo Rony, terima kasih sebelumnya telah bersedia bercakap-cakap dengan Global Voices. Berkenankah memperkenalkan diri bagi pembaca kami?

Rony Marton (RM): Nama saya Jaroni Surjomartono, lahir di Kudus tahun 1943 tapi dari sejak balita hidup di Solo, Jawa Tengah. Setelah lulus SMA sempat kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM) jurusan ekonomi perusahaan. Setelah kuliah di kampus UGM di Bulak Sumur Jogja, saya menulis permohonan ke PTIP (kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan). Awalnya sebagai mahasiswa ke Jepang, namun ternyata program beasiswa ke sana sudah ditutup. Saya kemudian ikut ujian dan pelatihan selama dua bulan sebelum akhirnya menerima telegram bahwa saya memperoleh beasiswa ke Cekoslowakia.

Rony Marton bersama para alumni PPI, anggota aktif PPI Republik Ceko bersama Yenny Wahid, putri mendiang Presiden Abdurrahman Wahid. Foto koleksi Rony Marton, digunakan seizin pemilik.

GV: Setelah Anda tiba di Eropa, peristiwa apa yang menghadang Anda untuk kembali pulang?
Setelah tiba di Praha 10 September 1963 saya dan rombongan pelajar Indonesia yang studi di Cekoslowakia (sekitar 35 orang) mengikuti kursus bahasa Ceko selama 10 bulan,  seusainya kami masing-masing masuk ke universitas pilihan kami, saya masuk ke Perguruan Tinggi Ekonomi di Praha (Vysoká Škola Ekonomická VŠE). Tahun 1965 saya terpilih sebagai Ketua PPI Cekoslowakia – Perhimpunan Pelajar Indonesia Cekoslowakia. Dengan pecahnya peristiwa 30 September 1965, yang berujung kudeta terhadap Bung Karno secara licik oleh Kolonel Suharto dan konco-konconya, serta terjadinya pengkapan, penculikan dan pembunuhan ekstrajudisial ratusan ribu warga Indonesia, semua anggota pengurus PPI Cekoslowakia yang saya ketuai dicabut paspornya sekitar pertengahan 1966 (KBRI Praha yang saat itu dipimpin Dubes Memet Tanuwidjaja tidak memperpanjang paspor yang sudah atau akan habis masa berlaku) dan akhirnya berimbas juga pada anggota PPI (sekitar
100 orang dari total 200 orang). 100 orang anggota kami, memutuskan untuk lepas dari PPI dan bergabung ke organisasi pelajar bentukan KBRI Praha yang juga disebut PPI, mereka yang bergabung dengan PPI KBRI tidak mengalami pencabutan paspor.
GV: Perasaan dan pengalaman apa saja yang Anda alami di negeri orang ketika Anda menyadari bahwa kembali ke tanah air saat itu tak memungkinkan?
RM: Sebagai ketua dan pengurus PPI Cekoslowakia yang anti rezim Suharto, kami terdesak menyelesaikan perkara eksistensi pokok 100 mahasiswa untuk bisa tinggal di Cekoslowakia guna menyelesaikan studi masing-masing. Tantangan kami antara lain:
mengupayakan izin tinggal dari pemerintah meski kami tidak lagi memiliki paspor, mengupayakan izin melanjutkan studi kami sampai selesai, mengupayakan izin tinggal di asrama pelajar hingga studi kami rampung. Ketiga hal tersebut kami sampaikan ke pihak (pemerintah) Cekoslowakia yang mengurusi persoalan mahasiswa asing yang belajar di Cekoslowakia.
Beberapa minggu kemudian kami mendapat jawaban yang sangat memuaskan, yang terus terang secara pribadi, melebihi target yang kita inginkan. Pertama: kartu penduduk kami akan diperpanjang (meski tanpa paspor Indonesia) sampai masa studi selesai. Juga fasilitas tinggal di asrama pelajar diperpanjang. Kedua: setelah studi selesai kami bisa memilih untuk tetap tinggal di Cekoslowakia, atau pindah ke negara lain (untuk yang ingin pindah, pihak pemerintah Cekoslowakia akan membantu memberi dokumen perjalanan menurut UU PBB, di Cekoslowakia kami mendapat perlindungan sebagai pencari suaka dibawah naungan International Red Cross, cabang Cekoslowakia). Yang ingin menetap di Cekoslowakia diberi izin tinggal tetap, berarti memiliki hak dan kewajiban sama dengan warganegara Cekoslowakia, kecuali hak memilih, dipilih dan wajib militer.
Kondisi-kondisi yang sangat positif ini yng memberikan ketentraman buat kami untuk menyelesaikan studi dan melanjutkan kehidupan kami selanjutnya. Saya pribadi merasa berhutang budí terhadap pihak Cekoslowakia waktu itu, yang kelihatannya tidak lupa akan tradisi historis yang mereka punyai di tahun 30an, pada masa dimana Republik Cekoslowakia memberi suaka kepada warga Yahudi dan yang lainnya yang melawan kekejaman Nazi Hitler di Jerman.
GV: Bagaimana nasib keluarga Anda di Indonesia, maupun ikatan kekerabatan Anda dengan masyarakat Indonesia di Praha setelah Orde Baru berkuasa?
RM: Praktis setelah paspor kami dicabut akhir 1966, kami tak ada kontak sama sekali dengan KBRI, dan kami dikucilkan oleh masyarakat Indonesia di Cekoslowakia. Mahasiswa-mahasiswa yang pro Suharto tak bergaul dan menyapa kami yang anti Suharto.
Orang tua di Indonesia tahu tentang keadaan saya di Cekoslowakia, 2-3 tahun setelah September 1965, mereka sangat sedih dan prihatin tentang anaknya diperantauan, tapi mereka agak tenang setelah mendengar bahwa kami bisa melanjutkan studi sampai selesai (mungkin dengan harapan Suharto dalam kurun waktu 5-10 tahun akan diganti dengan pemerintahan yang demokratis, ternyata Suharto berkuasa selama 32 tahun). Sepulang Umrah tahun 1978, ibu sempat mampir ke Praha, beliau meminta saya untuk tidak pulang ke Indonesia dulu karena sepak terjang keluarga Suharto di kampung halaman Solo. Beliau rela menelan rasa rindu dengan saya cucunya asalkan kami aman hingga Orde Baru turun. Ibu saya yang amat apolitis pun mampu menilai Orba sebagai rezim yang brutal dan serakah.
Selain pengucilan oleh sejumlah warga Indonesia di Praha, Rony juga mengisahkan bagaimana kerabatnya yang bekerja di Kedutaan Besar Indonesia di Yugoslavia diminta untuk memutuskan hubungan kekerabatan dengannya.
GV: Anda kemudian menjadi sensasi pop di Cekoslowakia, boleh bercerita tentang asal-muasal karir Anda?

RM: Sejak dari Indonesia saya berkecimpung di seni musik, main gitar dan menyanyi. Di SMAC 4 Solo saya memimpin band sekolah dengan kelompok koor berjumlah 8 orang pemudi. Di rumah, saya memimpin band gambusan (yang sepopuler dangdut zaman sekarang) dan band lagu hiburan. Waktu saya masuk UGM, saya diplonco ikut kontes nyanyi, saya ikut dan menjadi juara satu. Setelah itu saya direkrut jadi penyanyi Band Gama yang waktu itu sangat populer diantara mahasiswa.

Setelah tinggal di Praha, selain aktif membantu program-program kesenian Indonesia buat masyarakat Cekoslowakia, di tahun 1967 saya dan beberapa teman mendirikan Band Matahari yang tampil di kampus-kampus dan juga Klub 007 di Praha 6. Tahun 1970 saya ikut kontes nyanyi se-Cekoslowakia dan meraih juara pertama. Tahun 1973 saya mulai rekaman piringan hitam pertama saya dan tampil di TV Cekoslowakia. Meski ada beberapa orang Ceko yang pada permulaan abad XX yang hidup di Indonesia misalnya pujangga dan penulis Konstantin Beibl yang menulis sajak tentang Nusantara, pengetahuan warga Ceko tentang Indonesia sangat terbatas, jadi kalau saya konser di klub-klub sering saya selingi dengan informasi tentang alam Indonesia. Kenangan paling berkesan adalah saat konser Musim Panas tahun 1975, di panggung terbuka, yang dihadiri oleh sekitar 4.000 murid-murid sekolah, dan mereka bernyanyi bersama saya lagu Batak Sing Sing So.
Selain itu saya juga berkolaborasi dengan penyanyi-penyanyi Ceko dan Slovakia sembari merekam beberapa single piringan hitam. Sekitar tahun 1986 saya mengurangi kegiatan konser. Sekarang saya menyanyi sebagai hobi, untuk kegiatan amal atau untuk senang-senang saja.
GV: Anda adalah bagian dari sejarah brain drain Indonesia akibat faktor politik. Apa komentar Anda tentang hal ini dan harapan Anda bagi generasi muda Indonesia?
RM: Brain drain adalah hal positif untuk pihak yang memanfaatkan dan negatif untuk negara asal. Berkaitan dengan situasi yang kami alami tahun 1965, situasi dan kondisi serta sebab dan akibatnya sangat berbeda. Orba melarang kami pulang karena alasan politik dan seandainya kami pulang tentu setidaknya kami akan dipenjara atau dipetruskan (catatan redaksi: penembak misterius, sebuah operasi rahasia binaan Orde Baru) dan kami diluar negeri relatif jauh dari bahaya penghilangan ekstrajudisial. Saya melihat brain drain ini dari kaca mata positif bagi. Bagi saya luka itu masa lalu sudah terbalut oleh waktu dan harapan masa depan.
Bagi generasi muda Indonesia, saya harap agar generasi muda berpandangan kritis terhadap apa saja yang terjadi di Indonesia, supaya giat merangkum informasi dan terbuka untuk berdialog sebelum memutuskan pendapat. Jauhkan diri dari fanatisme dan radikalisme apapun bentuknya. Belajarlah dari sejarah bangsa, agar tidak mengulangi kesalahan-kesalahan generasi tua. Sensitiflah terhadap fenomena-fenomena yang ingin memberangus dan merevisi demokrasi dan humanisme.

1 komentar

  • Anung Kusnowo

    Saya kenal pribadi dg mas Rony, beberapa kali ketemu bila beliau berkunjung ke Indonesia. Komunitas yg mempertemukan kami adalah alumni SMP 3 Solo, thn 1950 sd 1960

Bergabung dalam diskusi

Relawan, harap log masuk »

Petunjuk Baku

  • Seluruh komen terlebih dahulu ditelaah. Mohon tidak mengirim komentar lebih dari satu kali untuk menghindari diblok sebagai spam.
  • Harap hormati pengguna lain. Komentar yang tidak menunjukan tenggang rasa, menyinggung isu SARA, maupun dimaksudkan untuk menyerang pengguna lain akan ditolak.