Pemilihan Umum Indonesia 2019: Catatan unik dari masa kampanye

Kedua calon presiden pada masa kampanye Pemilu 2019. Sumber: Akun Instagram masing-masing.

Hari Rabu 17 April 2019, 193 juta warga Indonesia memilih langsung Presiden dan wakil legislatif mereka melalui 800.000 lebih TPS yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Menurut lembaga penelitian Australia, Loewy Institute, pelaksanaan Pemilu ini menjadikan Indonesia unik di tahun 2019 ini Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar di dunia yang melaksanakan pemilihan presiden dan legislatif secara langsung.

Pada tanggal 21 Mei 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumukan kemenangan presiden petahana Joko Widodo. Prabowo Subianto, menolak hasil penghitungan suara dan melayangkan yuduhan kecurangan sistemik di KPU. Ditengah serangkaian reaksi pemilu kali ini, Global Voices mendalami hal-hal unik lainnya yang muncul di masa-masa pemilu tahun ini.

Putih: Warna pilihan kedua kandidat dan kelompok anti pemilu

Dalam siklus pemilu kali ini, warna putih memiliki makna baru bagi para pemilih di berbagai spektrum. Bagi pendukung Jokowi, kemeja putih polos — yang menjadi gaya pakaian khas Jokowi — menjadi seragam pilihan suporternya. Bagi sejumlah orang, kata ‘putih’ merupakan kata yang sering muncul di kubu Jokowi.

Jemari tak bertinta, ikon Golput tahun ini. Gambar milik laman Facebook Saya Golput. Digunakan seizin empunya.

Forum Umat Islam (FUI) dan Forum Pembela Islam (FPI), dua kelompok Muslim fundamentalis pendukung Prabowo Subianto menghimbau simpatisan mereka untuk mengenakan pakaian putih di hari Pemilu. Menurut mereka baju putih sudah identik dengan kelompok mereka.

Warna putih juga dilihat sebagai simbol tangan bersih tak bertinta. Penanda bahwa seseorang baru saja memilih. Tinta pemilu tidak mudah hilang sehingga warga tidak bisa memilih lebih dari sekali. Istilah Golongan Putih (Golput) muncul dari sikap ini.

Tahun 2014, Golongan Putih (Golput) mencapai 30,14% dari total pemilih terdaftar. Tahun ini MUI mengharamkan Golput, dan selain itu, Romo Franz Magnis, seorang figur Katolik terkemuka, bahkan menulis opini berapi-api tentang mereka yang menyebut diri Golput.

Namun, peneliti Politik dan angkatan bersenjata Indonesia Made Supriatma mengatakan bahwa absen bersuara di Pemilu adalah pilihan politik:

Berbeda dengan von Magnis yang mendakwanya sebagai immoral, saya justru melihat bahwa pilihan ini sangat bisa dipertanggungjawabkan secara moral.

Von Magnis menyebut mereka yang mengambil sikap golput adalah orang yang bodoh, benalu (parasite), dan bermental tidak stabil.

Namun benarkah golput adalah sebuah tindakan immoral? Pertama-tama, saya kira kita perlu meluruskan apa yang disebut sebagai golput. Ada banyak kerancuan pengertian tentang ini. Banyak orang memahami golput semata-mata sebagai tindakan tidak memilih (non-voting behavior). Kita perlu menggarisbawahi bahwa ini adalah sebuah tindakan. Bukan sikap. Karena hanya tindakan maka penyebab non-voting behavior ini bermacam-macam. Sebagian besar dilakukan bukan sebagai sebuah sikap, bukan sebagai statemen politik.

Di atas saya sudah kemukakan bahwa banyak orang menjadi golput karena pertimbangan yang serius. Ini bukan sikap yang diambil membabi buta. Menurut saya, justru berpartisipasi membabi buta mendukung salah satu capres dan ikut merobek-robek hidup sosial di negeri ini adalah bentuk ketidakstabilan mental. Bukankah itu yang terjadi dengan pendukung fanatik kedua capres?

Kematian di TPS

Salah satu hal mencengangkan yang diulas media di Indonesia pasca Pemilu tahun ini adalah adanya adanya kabar tentang  lebih dari seribu petugas KPU yang jaytuh sakit, 300 diantaranya meninggal dunia akibat kelelahan.

Saat ini masih diperdebatkan apakah kematian para petuga TPS berkaitan langsung dengan tekanan mental ataukah akibat beban kerja yang teramat berat.

Presiden Joko Widodo menulis pesan belasungkawa di akun Facebooknya.

Di luar sukses penyelenggaraan hajatan demokrasi ini, kita telah mendengar kabar duka mengenai meninggalnya sejumlah petugas KPPS dan juga aparat Kepolisian RI, karena kelelahan dan sebab lainnya.

Saya, atas nama pribadi, pemerintah, dan negara, menyampaikan duka cita dan belasungkawa yang mendalam kepada keluarga yang ditinggalkan. Para petugas KPPS dan polisi-polisi ini adalah pejuang demokrasi yang meninggal dalam tugasnya.

Semoga Allah SWT menerima semua amal kebaikan mereka, menjadi sebuah keberkahan bagi Indonesia, dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan.

Akankah kedua kandidat mampu mengatasi hal-hal serius yang mengkungkung Indonesia?

Pada umumnya, dapat kita amati bersama betapa pesta demokrasi ini masih menjadi ring adu otot partai politik lama. Partai politik baru seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang membidik generasi milenial, Partai Berkarya yang diketuai oleh Tommy Suharto, maupun Partai Persatuan Indonesia (Perindo) yang didirikan oleh taipan Hary Tanoesoedibjo yang dekat dengan Donald Trump, nyaris tidak terdengar gaungnya.

Terlebih lagi, di masa kampanye, banyak drama lama yang kembali muncul ke permukaan, alih-alih munculnya agenda dari kedua belah pihak yang ditujukan mengatasi berbagai persoalan lingkungan hidup, hak perempuan dan anak-anak, reformasi birokrasi, potensi pengembalian dwifungsi TNI, dan isu lainnya.

Tanpa agenda-agenda jelas, pasangan calon dan politisi yang terlibat dalam administrasi negara selanjutnya akan kesulitan mengatasi rongrongan kelompok sektarian, birokrat korup dan impunitas pelanggaran HAM.

Mulai Percakapan

Relawan, harap log masuk »

Petunjuk Baku

  • Seluruh komen terlebih dahulu ditelaah. Mohon tidak mengirim komentar lebih dari satu kali untuk menghindari diblok sebagai spam.
  • Harap hormati pengguna lain. Komentar yang tidak menunjukan tenggang rasa, menyinggung isu SARA, maupun dimaksudkan untuk menyerang pengguna lain akan ditolak.