Pada tanggal 2 Maret, seorang pria bersenjata tak dikenal menembak mati Menteri Minoritas Pakistan Shahbaz Bhatti. Tubuhnya penuh oleh peluru, dan para pembunuhnya kabur dari lokasi dengan meninggalkan sebuah selebaran yang berisi pembenaran atas pembunuhan itu. Ini merupakan pembunuhan politik kedua setelah pembunuhan Gubernur Salman Taseer. Bhatti nerupakan satu-satunya penganut Kristen dalam kabinet; dan kematiannya merupakan sebuah kemunduran besar, bukan hanya bagi kaum minoritas tetapi juga seluruh bangsa Pakistan. Saat mendengar kabar pembunuhannya, warga Pakistan di twitter bereaksi dengan cemas dan berduka. Di Gawaahi.com saya menulis tentang reaksi awal dan mendorong untuk menentang kekerasan. [semua tautan dalam En]
“There is no hope for Pakistan”
“RIP Pakistan”
“The Country has gone to the dogs”
Rest in peace Pakistan. It was the first message I read on my twitter feed this afternoon. It didn’t take much time to scroll down, and read the tragic news. Shahbaz Bhatti, Pakistan’s minority minister and the only Christian member of the cabinet, had been shot dead. Shock, horror, fear — it’s difficult to pinpoint what came first.
Kalsoom Lakhani di CHUP menggambarkan pembunuhan tersebut sebagai sebuah tragedi besar, satu paku lagi yang terpalu di peti mati mereka yang berkeinginan untuk menjadi benar-benar berani di negara ini. Ahsan Butt mengungkapkan rasa putus-asanya atas pembunuhan tersebut yang membuat banyak warga Pakistan pesimis akan masa mendatang.
I’m increasingly reconciling myself to the notion that it may be too late to do anything about the mess that is Pakistan. I don’t mean in a state failure kind of way; I’m sure the state will continue to survive for a long time. Remember Adam Smith’s line about there being “a great deal of ruin in a nation”?
So no, I’m not talking about state collapse. I’m talking about the form state and society take — increasingly ugly — and whether there’s a damn thing any of us can do anything about it.
Baik Taseer maupun Bhatti dibunuh karena pandangan mereka tentang hukum hujat. Akan tetapi reaksi atas kematian Bhatti sangat berbeda dari Taseer – tidak ada perayaan di mana-mana. Sebuah pos di Cafe Pyala menunjuk pada kebiasaan yang umum dalam membenarkan pembunuhan atas nama agama.
I take personal issue with every man, woman or adolescent who says ‘but’ when debating whether dissension merits death.
Mosharraf Zaidi meminta warga Pakistan untuk mengesampingkan perbedaan politik mereka dan bersatu dalam belasungkawa untuk menghormati kenangan atas Bhatti. Yasir Lateef Hamdani di Pakteahouse menggambarkan bahwa Pakistan setelah Bhatti berada di persimpangan ideologis. Di tengah kedukaan dan keputus-asaan, dua perempuan terkemuka Naveen Naqvi dan Beena Sarwar berbicara tentang keberanian dan ketangguhan.
Dalam blognya Naveen Naqvi menulis sebuah kilasan yang menyentuh tentang kematian Bhatti, yang diberi judul Kebisuan Anda bisa memancing pembunuhan lain:
Please step up with me. Do not think it will not make a difference. It will. There are precedents for it, and we must have the will to set new precedents, or let me reiterate — there will be nothing left for us to fight.I ask you to step up with me on March 12. Join the letter campaign to the Government and Judiciary against religious intolerance on Saturday, March 12 from 11am to 7pm. I hope to see you then.
Selain itu, Naqvi juga menghadiri dan mengeposkan foto-foto upacara untuk mengenang Shahbaz Bhatti yang diselenggarakan di Katedral St. Patrick, Karachi. Aktivis hak azasi manusia, Beena Sarwar, menerbitkan korespondensi surelnya dengan Gwynne Dyer, meruntuhkan persepsi bahwa ada kebisuan mencekam setelah pembunuhan tersebut. Kampanye penulisan surat, menurut Naqvi dalam blognya, mengumpulkan lebih dari 15 ribu orang dari berbagai golongan. Video acara tersebut oleh Sabeen Mehmud menunjukkan warga datang berbondong-bondong.
Meskipun responnya sangat luas, banyak pihak mengkritik dan mempertanyakan apakah petisi bisa membantu memecahkan masalah Pakistan. Dalam blog saya sendiri, saya berusaha berargumentasi melawan pesimisme yang berkembang itu:
Criticism is inevitable. In this case, it is the question of a petition being the solution to our arduous problems. It’s true, a petition is not the only solution. It is, however, an initiation point for a much bigger action plan. These 15,000 people defied all labels and cliches. It was not about the liberals or the conservatives, but about Pakistanis uniting against violence and fear. It is symbolic of the fact that, contrary to popular perception, we are not a nation of vigilantes. The atmosphere of intimidation can only be countered by courage.