Penangkapan Sewenang-wenang, Kejahatan Maya, dan Penggunaan Ponsel Massal: Memantau Hak Digital di Afrika Sub-Sahara

Free Zone 9 Vigil, August 2, 2014. Martin Luther King Memorial, Washington, DC. Photo by EthioTube via Facebook.

Nyalaan LIlin Free Zone 9, 2 Agustus 2014. Martin Luther King Memorial, Washington, DC.
Foto oleh EthioTube melalui Facebook.

Seperti apakah keadaan kebebasan berekspresi online di Afrika sub-Sahara? Untuk menjawab pertanyaan ini, editor Global Voices dari Afrika sub-Sahara, Ndesanjo Macha, mewawancarai Perwakilan Afrika Timur untuk Committee to Protect Journalists [Komite untuk Melindungi Jurnalis] (CPJ), Tom Rhodes, dari Nairobi, Kenya.

Ndesanjo Macha (NM): Jelaskan secara singkat tentang Anda dan pekerjaan Anda di CPJ.

Tom Rhodes (TR): Saya adalah Perwakilan Afrika Timur untuk CPJ. Saya memantau dan menjaga jurnalis yang mungkin mengalami kesulitan di seluruh wilayah ini (Afrika Timur) serta area lain, termasuk Tanduk Afrika dan daerah Afrika Tengah. Sebagian besar pekerjaan kami merupakan advokasi, namun kami juga memberikan bantuan langsung dalam beberapa kasus.

NM: Bagaimana CPJ menilai tingkat kebebasan berekspresi online di Afrika sub-Sahara?

TR: Walaupun jumlah blog dan situs berita meningkat, tampaknya dengan pesat, tingkat penekanan terhadap media online juga meningkat. Secara umum, kondisi pers online lebih bebas daripada, katakanlah dalam bentuk cetak, namun ini berubah seiring lebih cerdasnya pemerintah dalam menemukan cara untuk menekan kritik online.

NM: Apakah ada pemerintah di wilayah tersebut yang telah mengesahkan atau berniat untuk mengesahkan undang-undang yang akan membatasi kebebasan berekspresi online?

TR: Banyak undang-undang, yang dirancang untuk mengekang kejahatan maya atau terorisme, yang juga digunakan untuk membatasi kebebasan online melalui bahasa terlalu umum yang dapat dimanipulasi untuk membungkam kritik online. Misalnya, hukum di Tanzania dan Rwanda.

NM: Apa yang Anda anggap sebagai ancaman terbesar bagi netizen [pengguna Internet] di wilayah yang ingin mengekspresikan diri secara online?

TR: Saat ini, bukan undang-undang yang menargetkan warga online, melainkan penangkapan yang sewenang-wenang dan kerap melanggar hukum terhadap netizen yang memberi ancaman terbesar. Kita semua mengikuti sidang enam penulis blog di Etiopia – para penulis blog Zone9 yang sidangnya telah berlarut-larut selama lebih dari satu tahun tanpa ada tuntutan yang valid selama beberapa sidang pengadilan. Semakin jelas bahwa penuntut tidak memiliki alasan hukum yang valid untuk menangkap mereka selain keinginan untuk membungkam kritik menjelang pemilu. Fakta bahwa pemerintah menargetkan para penulis blog dan pengguna media sosial dengan penangkapan sewenang-wenang itu mengganggu hak netizen untuk berekspresi. Pengguna media sosial di Kenya juga terancam ditangkap selama satu sampai dua tahun terakhir ini. Situs-situs media warga yang mengkritik telah diblokir juga di Zambia. Ini tren yang kian meningkat seiring dengan bertambah mengertinya pemerintah tentang pengaruh dan pentingnya media sosial.

NM: Apa taktik umum, selain undang-undang, yang digunakan pemerintah di wilayah tersebut untuk membatasi hak netizen untuk berkomunikasi secara online?

TR: Taktik lain yang kian sering digunakan pemerintah di wilayah ini adalah media sosial itu sendiri. Pemerintah di Kenya, Tanzania, Rwanda, Etiopia, dan di negara lain mempekerjakan staf untuk bereaksi terhadap pengguna media sosial dengan tagar dan komentar sosial balasan. Salah satu taktiknya adalah membanjiri situs dengan komentar-komentar untuk mengendalikan narasi atau bahkan menyebabkan situs tersebut rusak.

NM: Ada banyak contoh pemblokiran situs jejaring sosial dan komunikasi bergerak selama pemilu dan ketika terjadi pergolakan di wilayah tersebut. Apakah perangkat-perangkat ini benar-benar memberi kuasa kepada warga di negara-negara ini ataukah ini merupakan akibat ketakutan pemerintah yang tidak tepat?

TR: Burundi dan Republik Demokratik Kongo adalah contoh yang cocok untuk ini. Terutama dalam kasus Burundi – media sosial berfungsi sebagai alat komunikasi untuk membantu warga sipil mengatur demonstrasi di Bujumbura untuk memprotes upaya presiden untuk mencalonkan diri untuk ketiga kalinya. Kemampuan untuk mengatur dan berkomunikasi dengan banyak penduduk melalui ponsel tidak boleh dianggap remeh. Sayangnya, sebagian besar perusahaan telekomunikasi dimiliki oleh negara atau sekutu negara tersebut dan siap memutus sinyal ketika diperintahkan untuk melakukannya. Kita juga melihat taktik yang sama selama pemilu 2011 di Uganda dan Kamerun.

NM: Siapa penjahat terburuk di wilayah tersebut? Apakah Anda dapat memberikan beberapa contoh spesifik dari apa yang telah dilakukan pemerintah-pemerintah ini?

TR: Mungkin yang terburuk adalah Etiopia yang rutin memblokir situs, memaksa pengguna Internet untuk mencari situs proksi, dan penulis blog dipenjara dengan sewenang-wenang. Etiopia juga telah mengimpor peralatan pemantau online yang canggih untuk memata-matai warganya, membuat komunikasi online sulit. EthioTelecom, penyedia telekomunikasi satu-satunya di negara itu, dimiliki oleh pemerintah. Semua ini dilakukan walaupun negara tersebut memiliki salah satu tingkat penetrasi Internet terendah di Afrika sub-Sahara, jika tidak di dunia, walaupun sebagai negara kedua yang berpenduduk terpadat di Afrika.

NM: Apakah ada gerakan sosial yang lebih luas di wilayah tersebut yang mendorong reformasi untuk menciptakan ruang bebas untuk komunikasi, debat dan informasi secara online?

TR: Tampaknya ada banyak gerakan sosial – termasuk Global Voices!

NM: Banyak pemerintah Afrika menunjuk pornografi dan pencemaran nama baik secara online sebagai alasan utama untuk membatasi ekspresi online.

TR: Ya, ini umumnya alasan untuk menyensor aktivitas online. Namun berapa banyak kasus pengadilan dan penangkapan yang dilakukan untuk, katakanlah, pornografi, dibandingkan dengan laporan berita yang mengkritik? Saya berani mengatakan bahwa yang kedua jauh lebih ditekan daripada yang pertama.

NM: Apakah Anda optimis tentang masa depan berekspresi secara online di Afrika sub-Sahara?

TR: Ya, sangat optimis – terutama dengan penggunaan telepon seluler yang kian meningkat untuk akses online. Pada tahun 2000, ada sekitar lima juta ponsel di Afrika dan kini, ada sekitar 900 juta. Walaupun banyak dari ponsel ini yang bukan “ponsel cerdas” – banyak juga yang merupakan ponsel cerdas – dan kita melihat kian banyak media arus utama yang menggunakan rekaman dan media sosial warga untuk merekam laporan tepat waktu sampai warga dapat menikmati narasi yang lebih bernuansa dan menyeluruh dari peristiwa-peristiwa di seluruh benua.

Tom Rhodes adalah Perwakilan Afrika Timur untuk CPJ. Ikuti Twitter-nya di @africamedia_CPJ.

Mulai Percakapan

Relawan, harap log masuk »

Petunjuk Baku

  • Seluruh komen terlebih dahulu ditelaah. Mohon tidak mengirim komentar lebih dari satu kali untuk menghindari diblok sebagai spam.
  • Harap hormati pengguna lain. Komentar yang tidak menunjukan tenggang rasa, menyinggung isu SARA, maupun dimaksudkan untuk menyerang pengguna lain akan ditolak.