Meski ditentang, Jepang akan membuang limbah cair reaktor Fukushima ke Samudra Pasifik

Tangkapan layar dari video Youtube Manhattan Project for a Nuclear-Free World yang menampilkan sekumpulan Ibu-Ibu Jepang dari kota Okuma dan Futaba yang memprotes rencana pembuangan air radioaktif ke Samudra Pasifik.

Masyarakat pesisir di Jepang serta komunitas internasional mengecam rencana baru pemerintah untuk membuang air terkontaminasi dari lokasi bencana nuklir Fukushima ke Samudra Pasifik. Masyarakat lokal dan negara-negara Samudra Pasifik lainnya khawatir pembuangan itu akan meracuni lingkungan hidup serta melumpuhkan industri perikanan dan pariwisata lokal yang telah berjuang selama lebih dari satu dekade untuk pulih dari petaka nuklir Maret 2011 di pantai timur laut Jepang.

Menurut rencana pemerintah yang dirilis pada 28 Desember 2021, Tokyo Electric Power Company (TEPCO) akan mulai menyalurkan 1 juta metrik ton limbah air radioaktif dari pembangkit Fukushima ke Samudra Pasifik pada tahun 2023. Rencana yang masih dikembangkan selama beberapa bulan mendatang tersebut memaparkan rencana pembangunan terowongan bawah laut untuk memompa limbah tersebut ke laut. Sejumlah dana juga telah dicadangkan untuk memberi kompensasi kepada industri perikanan dan pariwisata lokal atas potensi “kerusakan reputasi”.

Pada Maret 2011, sebuah gempa bumi dan tsunami menyebabkan tiga reaktor nuklir yang dioperasikan oleh TEPCO di Fukushima hancur. Selama bertahun-tahun, air tanah yang mengalir melalui pembangkit ini terkontaminasi kandungan radioaktif. Untuk mencegah air ini mencapai laut, air dipompa dari gedung reaktor ke tangki-tangki besar yang sekarang mendominasi instalasi reaktor.

fukushima radioactive water storage tanks

Tangki-tangki air yang menampung air terkontaminasi di depan gedung-gedung reaktor di Fukusihma Daiichi. Foto oleh: Susanna Loof / IAEA. Lisensi foto: Attribution 2.0 Generic (CC BY 2.0)

Per Desember 2021, setidaknya 1 juta ton air terkontaminasi disimpan di tangki-tangki di dalam Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi.

Sementara kontaminan radioaktif tinggi dihilangkan, air simpanan yang direncanakan pemerintah Jepang untuk dipompa ke laut masih mengandung sejumlah besar tritium, yaitu zat radioaktif yang, menurut beberapa ahli, tidak berbahaya jika kepadatannya berkurang ketika bercampur dengan air laut.

BACA SELENGKAPNYA: Sebuah Artikel Global Voices pada Oktober 2020 yang menampilkan sebuah wawancara dengan seorang ahli kimia kelautan tentang bahaya yang ditimbulkan oleh air yang disimpan di kompleks reaktor Fukushima.

Rencana pemerintah Jepang untuk memompa air terkontaminasi ini telah digarap sejak tahun 2020. Greenpeace mengatakan pada April 2021 bahwa mereka mengumpulkan 183.000 tanda tangan yang menentang rencana pembuangan limbah air dari pembangkit Fukushima.

Masih pada April 2021, kelompok-kelompok masyarakat sipil Korea Selatan mengeluarkan pernyataan yang mengecam rencana TEPCO dan mengatakan “bahkan jika encer dalam laut sekalipun, jumlah total bahan radioaktif yang dibuang ke sana tetap tidak berubah. Bila limbah air radioaktif ini dilepas, ini akan menjadi bencana final, tidak hanya bagi ekosistem laut tapi juga umat manusia.”

Masalah ini ditangani selama Pertemuan Menteri Luar Negeri Forum Kepulauan Pasifik pada Juli 2021 dan badan tersebut membuat deklarasi sebagai berikut:

Forum Menteri Luar Negeri menyadari kekhawatiran seputar seriusnya masalah ini terkait dengan potensi ancaman kontaminasi nuklir lebih lanjut di Benua Pasifik Biru kita dan potensi kerugian dan dampak lintas batas terhadap kesehatan dan keamanan Benua Pasifik Biru dan masyarakatnya, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek.

Pada November 2021, TEPCO mengatakan kajian dampak radiologisnya menunjukkan minimnya dampak terhadap lingkungan:

Kajian tersebut menemukan bahwa efek pembuangan air olahan ALPS (Advanced Liquid Process System) ke dalam laut bagi masyarakat dan lingkungan sangatlah minim karena dosis yang diperhitungkan lebih rendah secara signifikan dari batas dosis, target dosis, dan nilai-nilai yang ditentukan oleh organisasi internasional untuk masing-masing spesies.

TEPCO meyakinkan publik bahwa mereka terus memperbarui studi ilmiahnya mengenai rencana pelepasan air olahan ke Samudera Pasifik. Akan tetapi, masih ada keraguan tentang laporan-laporan mereka yang  umumnya karena masih terdapat beberapa rencana konkret  tentang bagaimana dan kemana air terkontaminasi tersebut akan dibuang. Hal ini menyulitkan pengamat-pengamat luar untuk menaksir risikonya.

Pacific Collective on Nuclear Issues sebagai perwakilan organisasi-organisasi masyarakat sipil berbasis di Oseania membantah kebenaran studi ini. Mereka juga punya pesan untuk TEPCO dan pemerintah Jepang, yakni:

Laut Pasifik bukan dan tidak boleh menjadi tempat pembuangan limbah nuklir.

Kami pikir TEPCO dan instansi pemerintah Jepang terkait telah keliru memprioritaskan kenyamanan dan biaya dibanding dampak jangka pendek dan panjang terhadap lingkungan dan kemanusiaan akibat tindakan terencana mereka.

Penduduk Jepang juga secara konsisten mengungkapkan keprihatinan mereka terhadap rencana TEPCO ini.

Greenpeace mewawancarai  Ono Haruo, seorang nelayan dari kotamadya Shinchi, Fukushima, yang menggaungkan sentimen-sentimen masyarakat lokal.

Akhirnya ikan-ikan mulai muncul kembali setelah sepuluh tahun lamanya. Akan tetapi, jika mereka sekarang mencurahkan tritium, seberapa encerpun konsentrasinya ketika bercampur dengan laut nanti, siapa yang akan membeli ikan-ikan itu? Siapa yang mau makan ikan beracun?

Laut adalah tempat kami bekerja. Bisakah kalian bayangkan bagaimana rasanya ketika laut dicemari secara sengaja?

Butuh waktu 30 atau 40 tahun sebelum akhirnya kita merasakan efeknya. Pada saat itu, hubungan sebab akibat sudah menjadi kabur dan akan mustahil untuk membuktikan apapun. Apa yang akan terjadi pada masa depan anak dan cucu kita? Bahkan yang akan bertanggung jawab pun tidak jelas siapa.

Pada November 2021, sekelompok Ibu di kota Iwaki, Fukushima, berpartisipasi dalam  protes menentang rencana pembuangan air terkontaminasi ke laut. Kotamadya Okuma dan Futaba yang mengadakan aksi mogok kompleks Fukushima Daiichi pun nyaris mengalami depopulasi menyeluruh selama satu dekade terakhir.

 

 

Pada musim semi 2022, Lembaga Internasional Energi Atom (International Atomic Energy Agency) akan mengevaluasi dan melaporkan rencana-rencana terkait pengolahan air Fukushima sementara para pemangku kepentingan akan terus melibatkan pihak-pihak berwenang dalam rencana TEPCO yang kontroversial ini.

Mulai Percakapan

Relawan, harap log masuk »

Petunjuk Baku

  • Seluruh komen terlebih dahulu ditelaah. Mohon tidak mengirim komentar lebih dari satu kali untuk menghindari diblok sebagai spam.
  • Harap hormati pengguna lain. Komentar yang tidak menunjukan tenggang rasa, menyinggung isu SARA, maupun dimaksudkan untuk menyerang pengguna lain akan ditolak.