Pada tahun 2014, Olimpia Coral Melo Cruz, yang saat itu berusia 18 tahun, merekam video seks dengan pacarnya. Beberapa hari kemudian, video itu dibagikan secara online tanpa persetujuannya, dan video itu dilihat oleh tetangga, kenalan, kerabat, dan teman-temannya di komunitas Huauchinango, di negara bagian Puebla, Meksiko.
Aktivis itu mengatakan kepada BBC dalam bahasa Spanyol bahwa semua orang di lingkungannya, membicarakan dia dan videonya. “Olimpia mengurung diri di rumahnya selama delapan bulan dan mencoba bunuh diri tiga kali,” tulis situs web tersebut.
Setelah melalui masa depresi yang sulit, Olimpia mendapatkan kembali kekuatannya untuk bangkit dan mempertahankan haknya untuk menikmati seksualitasnya secara bebas. Tetapi ketika dia memutuskan untuk melaporkan kejadian tersebut, pihak berwenang mengatakan bahwa tidak ada kejahatan untuk dituntut, karena tidak ada undang-undang atau kode yang menghukum kekerasan digital terhadap perempuan.
Selama lima tahun terakhir, dengan dukungan kelompok dan organisasi feminis, Olimpia telah berjuang untuk mempromosikan reformasi untuk menjadikan penyebaran konten seksual atau intim tanpa izin sebagai kejahatan yang dapat dihukum.
Inisiatif ini dikenal sebagai #LeyOlimpia (#OlimpiaLaw) dan telah disetujui di 12 dari 32 negara bagian Meksiko, termasuk Puebla. Menurut KUHP negara bagian ini, “Perbuatan yang memperlihatkan, mendistribusikan, menerbitkan atau meminta gambar, baik dicetak, direkam atau digital, dengan konten erotis seksual dari orang yang telanjang sebagian atau seluruhnya tanpa persetujuan dapat dijerat hukum.” Hukumannya berkisar antara tiga sampai enam tahun penjara dan denda.
Undang-undang serupa belum disetujui di Mexico City, tetapi RUU telah diajukan ke Kongres lokal dan proses legislatif telah dimulai. Pada 28 September, para aktivis dan berbagai organisasi turun ke jalan di ibu kota untuk mengumpulkan tanda tangan yang mendukung undang-undang tersebut. Selama beberapa bulan terakhir, para aktivis juga menggunakan tagar #LoVirtualEsReal (“virtual itu nyata”) untuk berbicara tentang kekerasan digital berbasis gender.
Sebagai juru bicara Barisan Perkumpulan Mahasiswi Nasional, Olimpia telah berkeliling negara untuk mempromosikan undang-undang yang berusaha untuk membuat kekerasan yang dialami oleh perempuan di ruang virtual agar lebih diperhatikan. “Mereka tidak perlu menusuk kami untuk memperkosa kami melalui ruang digital,” katanya selama partisipasinya baru-baru ini dalam Pawai Hukum untuk Legalisasi Aborsi, di alun-alun Zocalo di Mexico City.
“Tidak ada wanita atau gadis yang telah dipertontonkan secara online ingin diekspos seperti ini,” katanya.
Mensaje de @OlimpiaCMujer durante marcha por #AbortoLegalParaTodoMexico pic.twitter.com/HXXtTiwjov
— Mrcds (@abraxas_m) September 29, 2019
Menurut Digital Defenders dari Barisan Perkumpulan Mahasiswi Nasional, penyebaran gambar dan video seksual atau intim para korban memiliki beberapa akibat, yaitu: “pengucilan, penolakan dalam pergaulan sosial, ketakutan, dicap tidak cakap dalam masyarakat, persekusi atau penganiayaan, trauma, keputusasaan akut yang dapat menyebabkan seseorang mengalami depresi, kepercayaan diri yang rendah, ketidakseimbangan fisik dan emosional, dan dalam beberapa kasus, bunuh diri.”Pesan dari @OlimpiaCWoman selama pawai #LegalAbortionForEveryoneMexico
Meskipun banyak penyintas meninggalkan ruang digital setelah terekspos, lingkungan fisik di sekitar mereka, seperti sekolah, keluarga, dan pekerjaan, juga ikut terpengaruh.
Terakhir, Report on Online Violence against Women in Mexico yang ditulis oleh Luchadoras.mx, memperingatkan bahwa perempuan muda berusia 18 hingga 30 tahun adalah yang paling rentan di ruang digital. Namun, laporan itu juga mengatakan bahwa catatan statistik terperinci tentang skala dan karakteristik kekerasan digital masih diperlukan.