Kemenangan untuk mahasiswa transgender di Universitas Chulalongkorn Thailand

Jirapat Techakijvekin (kedua dari kanan) ketika dia mengajukan petisi dengan Komite Pertimbangan tentang Diskriminasi Gender. Foto dari Prachatai

Artikel ini berasal dari Prachatai, situs berita independen di Thailand, dan diterbitkan ulang di Global Voices sebagai bagian dari perjanjian berbagi konten.

Universitas Chulalongkorn salah satu universitas negeri terkemuka di Thailand, akhirnya mengubah peraturan cara berseragam untuk memungkinkan mahasiswa berpakaian sesuai dengan identitas gender mereka. Perubahan ini terjadi setelah sekelompok mahasiswa pada awal tahun ini mengajukan permintaan tersebut dan juga mengajukan keluhan terhadap dosen Fakultas Pendidikan.

Sebuah pengumuman dari Universitas Chulalongkorn tanggal 7 November 2019 mengatakan bahwa Universitas telah menyetujui amandemen terhadap peraturan seragamnya, yang sekarang dengan jelas menyatakan bahwa “mahasiswa dapat mengenakan seragam sesuai dengan gender yang telah mereka dapatkan saat lahir atau sesuai dengan identitas gender mereka, “memperbolehkan siswa berpakaian sesuai dengan peraturan tersebut saat di kelas, dalam ujian, atau di acara formal.

Sebelum amandemen ini, Universitas Chulalongkorn tidak memiliki protokol resmi untuk mahasiswa transgender yang ingin berpakaian sesuai dengan identitas gender mereka. Mahasiswa harus mengajukan permintaan individu dengan Universitas untuk lulus dalam pakaian yang sesuai dengan identitas gender mereka atau berpakaian sesuai dengan identitas gender mereka di kelas dan dalam ujian. Walaupun Universitas telah mengizinkan siswa yang lulus mengenakan pakaian yang sesuai dengan identitas gender mereka, jarang bagi siswa untuk mengajukan hal serupa untuk seragam saat di kelas atau ujian. Proses permintaan juga rumit, membutuhkan banyak dokumen, termasuk sertifikat medis yang menyatakan bahwa mereka memiliki “gangguan identitas gender.” Siswa juga sering tidak tahu bahwa sebenernya diperbolehkan untuk membuat permintaan tersebut atau juga tidak mengerti bagaimana cara mengurusnya.

Walaupun banyak dosen tidak akan menghukum atau memaksa mahasiswa transgender untuk berpakaian sesuai dengan jenis kelamin mereka saat lahir, para mahasiswa masih menghadapi diskriminasi atau komentar transphobia dari beberapa anggota staf, terutama di fakultas yang dianggap lebih ‘konservatif’, seperti Fakultas Pendidikan, tempat dimana mahasiswa sering terancam dengan tindakan disipliner. Amandemen terhadap peraturan seragam dapat berarti bahwa mahasiswa trans tidak dapat lagi dituduh melanggar peraturan universitas dan tidak lagi harus mengajukan permintaan seragam individu. Bagaimanapun, hal ini mungkin tidak mengakhiri diskriminasi pada tingkat individu.

Pada Januari 2019, Jirapat Techakijvekin, seorang mahasiswa trans di Fakultas Pendidikan, mengajukan banding ke komite pengaduan Universitas setelah Dewan Administrator Fakultas membatalkan izin baginya untuk mengenakan seragam perempuan dan memerintahkannya untuk berpakaian sebagai laki-laki, atau ia akan mendapatkan hukuman berat. Jirapat mengatakan bahwa dia mengajukan permintaan resmi kepada Fakultas pada bulan September 2017, dan pada bulan Desember tahun yang sama, dia diberitahu oleh Fakultas bahwa permintaannya telah dikabulkan sebelum akhirnya dicabut pada tanggal 11 Januari 2019.

Jirapat juga mengatakan bahwa dia menghadapi komentar transphobia dari Niran Sangsawat, seorang dosen khusus, pada bulan November 2018. Niran dilaporkan menyuruhnya berpakaian seperti laki-laki untuk kelas berikutnya, atau tidak usah datang ke kelas sama sekali. Niran juga mengatakan kepada Jirapat bahwa menjadi transgender sama seperti menjadi gila, dan berkata kepadanya: “Kami sudah cukup baik untuk mengizinkan Anda belajar daripada mengirim Anda ke rumah sakit jiwa.” Dia juga diduga mengatakan kepada Jirapat bahwa dia akan meminta Fakultas untuk mempertimbangkan kembali kasusnya, tak lama setelah itu keputusan Fakultas tentang permintaan Jirapat dibatalkan.

Mahasiswa lain juga mulai muncul di media sosial untuk megatakan bahwa generasi mahasiswa selama 35 tahun terakhir telah menghadapi perilaku diskriminatif saat berada di kelas Niran. Aktivis mahasiswa Netiwit Chotiphatphaisal juga meluncurkan kampanye Change.org yang menyerukan agar Fakultas Pendidikan mengambil tindakan disiplin terhadap Niran. Namun, tidak jelas apakah Fakultas akan mengambil tindakan atau tidak.

Jirapat dan dua mahasiswa lainnya juga pergi menghadap Departemen Urusan Wanita dan Pengembangan Keluarga (DWF) pada tanggal 29 Januari 2019 untuk mengajukan pengaduan resmi ke Komite Pertimbangan tentang Diskriminasi Gender yang Tidak Adil. Menurut pasal 18 Undang-Undang Kesetaraan Gender Thailand, siapa pun yang merasa bahwa mereka mendapatkan diskriminasi berbasis gender dapat mengajukan keluhan kepada Komite Diskriminasi Gender, yang memiliki wewenang untuk memastikan bahwa tindakan yang tepat akan diambil untuk mengakhiri dan mencegah diskriminasi, dan untuk memastikan bahwa akan ada kompensasi dan perbaikan untuk pihak yang dirugikan.

Saat Departemen Urusan Kemahasiswaan Universitas masih dalam proses mengubah peraturan seragam agar  sesuai dengan Undang-Undang Kesetaraan Gender, sebuah surat tertanggal 18 Februari 2019 dari  pihak Universitas kepada Jirapat menyatakan bahwa Universitas memberikan izin kepada Jirapat untuk mengenakan seragam mahasiswa perempuan. Amandemen peraturan seragam pun akhirnya diumumkan pada tanggal 11 November 2019.

Komunitas LGBTQ+ Thailand mendapatkan berbagai diskriminasi dan ketimpangan perlakuan dalam keseharian mereka, sebagian besar hidup di bawah tekanan kuat untuk tidak membuat malu keluarga mereka. Sementara otoritas pariwisata Thailand mengiklankan negaranya sebagai destinasi yang ramah LGBT, bahkan meluncurkan “Go Thai, Be Free” sebagai cara untuk menarik wisatawan LGBTQ+. Bangkok telah dijuluki sebagai “ibukota gay Asia” dan dikenal karena kehidupan malam gay, ratu kecantikan transgender, dan operasi penggantian kelamin. Namun, bahkan setelah UU Kesetaraan Gender tahun 2015 disahkan, tetap saja ada sangat sedikit dukungan hukum untuk komunitas LGBTQ+.

Dan meski homoseksualitas tidak lagi dianggap sebagai tindak kejahatan di bawah hukum Thailand, komunitas LGBTQ+ masih menghadapi diskriminasi di tempat kerja, sekolah, dan di rumah. Ada laporan bahwa orang LGBTQ+ ditolak promosi atau dipecat dari pekerjaan mereka setelah mengungkapkan seksualitas mereka, atau ditanyai secara tidak pantas tentang orientasi seksual dan identitas gender mereka selama wawancara. Siswa LGBTQ+ menghadapi pelecehan dan intimidasi dari guru dan teman sebaya mereka berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender mereka. Narapidana transgender di penjara Thailand mengalami kesulitan mengakses pengobatan hormon, dan banyak dihadapkan dengan kondisi yang dikenal sebagai “pemenjaraan ganda”, yaitu ketika para wanita transgender yang belum menjalani operasi ganti kelamin ditahan di area tersendiri di dalam penjara pria.

Thailand saat ini tidak memiliki undang-undang pengakuan gender, hal ini menghalangi orang-orang transgender untuk mendapatkan hak mereka. Thailand juga tidak memiliki undang-undang kesetaraan pernikahan, yang membuat pasangan sesama jenis tidak dapat menikah secara resmi, dan menyebabkan masalah lain seperti tidak dapat mengadopsi anak atau membuat keputusan medis untuk pasangannya.

Pada tanggal 22 Agustus, parlemen juga memilih untuk tidak mendukung proposal pembentukan Komisi Tetap yang terpisah tentang hak-hak LGBTQ+. Sebaliknya, hak-hak LGBTQ+ akan dimasukkan di bawah Komisi Tetap untuk anak-anak, remaja, perempuan, orang tua, penyandang cacat, dan kelompok etnis.

Mulai Percakapan

Relawan, harap log masuk »

Petunjuk Baku

  • Seluruh komen terlebih dahulu ditelaah. Mohon tidak mengirim komentar lebih dari satu kali untuk menghindari diblok sebagai spam.
  • Harap hormati pengguna lain. Komentar yang tidak menunjukan tenggang rasa, menyinggung isu SARA, maupun dimaksudkan untuk menyerang pengguna lain akan ditolak.