Pada tanggal 2 September, warga Baku diberitahukan bahwa ada jenis satuan polisi baru yang akan berpatroli di jalanan ibukota Azerbaijan. Kanal media lokal mengutip pernyataan Departemen Kepolisian Utama Kota Baku yang mana pihak berwenang telah memutuskan untuk mengambil “langkah-langkah pencegahan yang kompleks” terhadap isu-isu yang “bertentangan dengan nilai-nilai moral publik dan mentalitas nasional.” Keputusan ini diduga diambil setelah adanya beberapa keluhan yang diajukan warga ke departemen kepolisian.
Azerbaijan dipimpin oleh Presiden Ilham Aliyev sejak tahun 2003. Kepentingan bisnis keluarga Aliyev terkenal secara internasional; gaya hidup mereka yang glamour dan mewah ditampilkan di majalah-majalah internasional begitu pula dalam investigasi jurnalistik. Tapi di tanah air, imbauan “nilai dan mentalitas nasional” yang konservatif tetap menjadi metode yang meluas untuk mempermalukan orang-orang Azerbaijan karena perilaku yang tidak pantas, apa pun itu.
Jadi tidak kaget ketika polisi ibukota membuat pengumuman ini menyebabkan reaksi penolakan dari penduduk Baku yang progresif. Apa saja nilai-nilai moral yang menuntut perlindungan dari polisi? Apa yang mendefinisikan mentalitas nasional dalam konteks khusus ini, dan apa yang merupakan pelanggaran terhadap moral dan nilai-nilai ini?
“Apakah wanita yang memakai gaun pendek atau pasangan yang berpegangan tangan itu berarti tidak bermoral?” tanya pengacara Samira Aghayeva dalam sebuah wawancara dengan Radio Azadliq, layanan Radio Free Europe di Azerbaijan. Aghayeva melanjutkan bahwa pihak berwajib tidak memberikan acuan mengenai apa tepatnya yang merupakan pelanggaran dari “mentalitas nasional,” yang dia yakini menunjukkan bahwa polisi sendiri tidak tahu bagaimana mereka akan menangani kasus sedemikian.
Dengan tidak adanya kerangka hukum yang jelas, terdapat ketakutan bahwa polisi bisa langsung melakukan kekerasan pada warga atas nama “moralitas publik,” dengan dasar yang menurut mereka pas. Hal ini akan mengikuti preseden polisi bertindak sebagai pengawas moralitas publik, seperti di Saudi Arabia, Iran, atau Malaysia.
MeydanTV, sebuah platform media independen yang beroperasi di pengasingan, menerbitkan sebuah karikatur karya Gunduz Aghayev yang mengejek “para polisi moralitas.” Warga Azerbaijan langsung membagikan rasa skeptis mereka ke jaringan sosial media:
Mereka membentuk “polisi moral.” Mereka akan mengukur panjang rok di Torgovaya [jalur pejalan kaki utama di Baku]
Segera menjadi jelas bahwa pengenalan “polisi moralitas” sebenarnya tentang pemantauan satu industri yang sangat spesifik: pekerja seks dan pariwisata seks di Azerbaijan.
Pada pernyataan tanggal 14 September, Kementerian Dalam Negeri Azerbaijan tampak menarik kembali dengan mengumumkan bahwa “polisi moralitas” yang berkomitmen akhirnya tidak akan muncul di Baku. Sebagai gantinya, patroli khusus yang bisa diidentifikasikan melalui seragamnya akan bertanggung jawab untuk “memindahkan wanita-wanita murahan yang menawarkan layanan seks kepada wisatawan” dari pusat kota.
Kantor statistik negara tidak memastikan jumlah orang yang dipekerjakan oleh industri khusus ini. Menurut basis data UNAIDS, di tahun 2018 jumlah pekerja seks di Azerbaijan diperkirakan berjumlah 32.000 orang, meningkat lebih dari 5.000 orang sejak tahun 2011. Pada periode yang sama, warga Baku mulai mengkritik secara aktif kenaikan prostitusi yang dirasakan di kota mereka.
Tapi di negara di mana polisi terkenal karena korupsi dan usaha masa lalu dalam membatasi prostitusi dan kegiatan ilegal lainnya terbukti sia-sia, tingkat keberhasilan satuan khusus baru ini tampaknya meragukan. Di Azerbaijan yang otoriter, polisi telah lama membantu menjalankan represi dan pengawasan terhadap para pembangkang dan aktivis oposisi. Jika ada, peran polisi Azerbaijan hanya sekedar ditingkatkan untuk mencampuri lebih dalam kehidupan pribadi masyarakat — semua demi menyelesaikan masalah yang sama sekali tidak baru.
Kenyataannya, banyak ahli yang membicarakan perkembangan terkini setuju bahwa memperkenalkan polisi moralitas tidak mungkin mengarah pada penurunan pekerjaan seks. Sebaliknya, kata mereka, pihak berwenang harusnya datang dengan solusi terhadap alasan sesungguhnya yang mendorong orang ke industri seks; mereka harus menangani penyebab mendasar seperti kurangnya pendidikan yang baik, ketimpangan upah, dan peluang ekonomi yang buruk.
Yang semuanya menimbulkan pertanyaan: di mana moralitas dalam polisi moralitas?
Kami tidak butuh polisi moral. Kami butuh moral polisi.