- Global Voices dalam bahasa Indonesia - https://id.globalvoices.org -

Trilyunan terlayani? Hak Asasi Manusia di Era Facebook

Kategori: Media Warga

Demonstran di Universitas Dhaka di Bangladesh saat pemberedelan media sosial tahun 2015. Pada poster tertulis “Alasan apa lagi? Bebaskan Viber, Messenger, WhatsApp dan Facebook sekarang juga.” Foto karya Zaid Islam, digunakan seizin pemilik.

Pos ini bertujuan untuk menyorot kisah-kisah yang ditulis oleh Fernanda Canofre [1], Sahar Habib Ghazi [2], Ellie Ng [3] (via Hong Kong Free Press [4]), Dalia Othman [5]Inji Pennu [6] dan Thant Sin [7].

Saat Revolusi Negara-Negara Arab tahun 2011 [8], Facebook menempatkan diri sebagai salah satu katalis teknologi paling berbobot di dunia dalam hal kebebasan berbicara dan mobilisasi demokratis. Meski bukan penyebab revolusi, raksasa sosial media tersebut merupakan pelaju penting pertumbuhannya. proved itself to be one of the most powerful technological catalysts for free speech and democratic mobilization that the world had ever seen. While it did not cause the uprisings, it was a critical driver of their growth.

Di tahun yang sama, jumlah pengguna Facebook di Afrika, Asia, Amerika Latin dan Timur Tengah (“Selatan Dunia”) melebihi [9] jumlah pengguna di Eropa dan di Amerika Utara. Sejak itu, kendati ekonomi AS terpuruk, Facebook menjelma menjadi wahana global.

Sejak itu, Facebook, dan jejaring sosial lainnya, kian mampu berfungsi sebagai perangkat bagi warga dunia untuk mengutarakan pendapat dan membela hak mereka. Namun, pemerintah juga mulai paham bahwa media sosial dapat menguntungkan mereka, baik dengan memata-matai aktivitas dan perilaku masyarakat maupun untuk berkampanye politik dan ideologi.

CEO Facebook di panggung konferensi Facebook F8.. Photo by pestoverde via Flickr (CC BY 2.0)

Komunitas Global Voices akrab dengan dinamika ini. Sebagai komunitas penulis dan aktivis, kami berhadapan dengan penyensoran, perundungan, dan ancaman langsung akibat aktivisme kami terhadap Facebook sejak raksasa jejaring sosial tersebut baru muncul. Kami telah menulis pengalaman-pengalaman Facebook lebih dari satu dekade [10].

Kami paham bahwa bagi Facebook, dan bagi mereka yang berusaha untuk paham tentang interaksi teknologi dan kebebasan berbicara, privasi, dan hak sipil dan hak berpolitik, pengalaman masa lalu amatlah berharga.

Berikut selayang pandang atas beberapa liputan penting atas ujaran kebencian, perundungan, dan sensor politik yang terjadi dalam jejaring sosial terbesar di dunia.

Untuk daftar lengkap artikel, sila kunjungi arsip liputan Facebook [11].

Perempuan pada demonstrasi di Kerala protest guna menunjukan solidaritas dengan para gadis yang diperkosa dan dbunuh massa di UttarPradesh, India. Foto karya Sthreekoottayma, digunakan seizin pemilik.

 

Bagi aktivis India, “nama asli” berdampak langsung di dunia nyata [12]

Tahun 2015, seorang perempuan di bagian utara India, setelah menjadi target utama [13] pelecehan seksual dan ancaman kekerasan di Facebook, akunnya dibekukan [14]. Seseorang menuduhnya telah melanggar ketentuan penggunaan Facebook yang mewajibkan “identitas asli” (atau “nama asli”). Tanpa pemberitahuan sebelumnya, dia serta-merta diblokir. Satu-satunya cara mendapat akun kembali adalah dengan mengirimkan Facebook salah satu bentuk kartu identitas resmi. Tanpa pilihan lain, dia memenuhi permintaan Facebook.

Facebook mengembalikan akunnya lengkap dengan nama aslinya, dimana tercantum nama kastanya [15]. Dia tidak pernah menggunakan nama kasta pada laman Facebooknya, begitu juga di ranah publik. Kelancangan ini mengakibatkan dirinya menjadi target perundungan yang lebih parah dari sebelumnya.

Bersama dalam koalisi pembela hak digital dan grup LGBT, Global Voices turut serta dalam menulis surat [12] yang dilayangkan ke Facebook menunjukkan sejumlah masalah yang berhubungan dengan penyalahgunaan sistem Facebook, dan lemahnya kepekaan perusahaan terhadap apa sebenarnya “nama resmi” atau “identitas asli”.

Sekarang, pengguna tidak lagi dicekal akibat sebuah laporan penyalahgunaan “identitas asli”. Namun perusahaan masih harus menempuh jalan panjang dalam hal menghormati jati diri pengguna yang tidak menggunakan nama resmi mereka.

Misi ini mengajarkan secara mendalam tentang betapa kompleksnya identitas di internet. Bagaimana mungkin sebuah teknologi menentukan “keaslian” seseorang? Bagaimana pengertian atas kewarganegaraan dan berbangsa terbentuk di dalam jaringan, terutama berkenaan dengan hal etnik, terutama saat cekcok etnik dan wilayah berpadu di dalamnya?

Liputan kami atas Palestina dan Israel seringkali menyentuh pertanyaan-pertanyaan barusan, baik daring maupun luring.

Palestina: Ujaran kebencian dan penjajahan dengan jejak rekam digital [16]

Selama perang Gaza tahun 2014, sebuah laman Facebook [16]berjudul “Sebelum putra-putra kami kembali – kami akan bunuh seorang teroris tiap jamnya” menjadi amat terkenal. Laman tersebut mengunggah beberapa pos dalam bahasa Ibrani yang mengajak warga Yahudi untuk melakukan tindak kekerasan terhadap warga Palestina dan Arab, termasuk di antaranya sebuah pos yang menganjurkan pembaca untuk “memberangus Gaza” dan “bunuh kaum Arab”.

Meski banyak laporan formal penyalahgunaan [17] yang dilayangkan oleh pengguna Facebook, laman tersebut terus tayang lebih dari tiga minggu lamanya. Saat penulis Global Voices mengungkit peristiwa itu kepada staf Facebook, mereka tidak mampu memberikan pembenaran atas laman yang dimaksud. Mereka hanya mengacu pada komitmen mereka untuk menegakkan Standar Komunitas.

Sejak saat itu, secara berkala kita menyaksikan liputan media [18] atas pertemuan-pertemuan antara staf Facebook dengan perwakilan pemerintah Israel. Keterbatasan informasi yang ada membuat kami prihatin akan adanya kemungkinan bahwa Facebook memiliki standar ganda atas permintaan pemerintah Israel. Peningkatan tajam penahanan [19] pengguna Facebook dari kalangan Palestina dan Arab akibat pos-pos mereka turut mempertajam kerisauan ini.

 

Sebuah ilustrasi yang membandingkan “pandangan dunia” atau perspektif internasional atas konflik yang terjadi dengan “kenyataan”. Cuplikan layar dari Twitter, 4 September.

Di Myanmar, Facebook harus ‘fokus pada konteks, bukannya pada kode program’ [20]

Di Myanmar, jejaring sosial di sana porak-poranda akibat ujaran kebencian, foto berita palsu, dan naratif rasis ketika militer Myanmar  bentrok [21] dengan Bala Keselamatan Rohingya Arakan (ARSA) bulan Agustis 2017 dan meluncurkan ‘operasi bumi hangus’ [22]di desa-desa negara bagian Rakhine, memaksa ratusan ribu Muslim Rohingya melarikan diri ke luar negeri.

Pada saat itu, propaganda anti-Rohingya [23] meramaikan ranah dunia maya. Masyarakat Rohingya dan mereka yang berusaha melindunginya mengalami ancaman kekerasan di Facebook. Seperti yang banyak diberitakan [24] sejak sidang pembelaan Zuckerberg, saat sekelompok LSM Burma menuntut Facebook menghapus pos-pos yang mengancam, perusahaan medsos itu amat lambat menjawab.

Satu taktik yang digunakan Facebook adalah teknik sensor otomatis [20] yang menghapus semua pos yang berisi kata “kalar” atau ကုလား (dalam aksara Burma), istilah yang awam digunakan oleh golongan ultra nasionalis dan fanatik agama untuk menyerang warga Muslim di Myanmar. Para pengguna di Myanmar menemukan taktik ini ketika mereka mencari pos, termasuk dalam diskusi, yang memiliki akar kata “kalar” tersebut  (contoh: “kalarkaar”, yang artinya gorden atau tirai) — dihapus dan diberi label ujaran kebencian.

Penulis Global Voices Thant Sin menjawab: “alih-alih menyensor kata “kalar”, [Facebook] harusnya mengamati dan mempelajari program-program relevan [25] yang bertujuan melawan [26] ujaran kebencian daring di Myanmar, yang fokus atas konteks dan bukan sekadar kode programasi.”

Menyensor Tiananmen: aktivisme Facebook di Hong Kong [27]

“Wilayah Administrasi Istimewa” Hong Kong mencerminkan ranah kompleks pengaturan kebebasan berekspresi di medsos. Meski pemerintah Tiongkok memblokir total Facebook di daratan, medsos ini masih bisa dinikmati dan amat populer di Hong Kong, terutama di antara para aktivis pro demokrasi.

Namun keistimewaan daerah ini seringkali mengalami cobaan ketika warga Hong Kong mencoba berdiskusi tentang topik-topik politik yang sensitif. Pembantaian pelajar tahun 1989 di alun-alun Tiananmen adalah salah satu topik sensitif yang paling sering dibahas.

Tahun 2017, bersama dengan partner kami, Hong Kong Free Press, kami menulis tentang [27] Fung Ka Keung, pemimpin Ikatan Guru-Guru Hong Kong yang menyematkan foto profil sementara dengan figura digital peringatan alun-alun Tiananmen tahun 1989.

Fung Ka Keung (kanan) dan e-figura 4 Juni. Foto: Fung Ka Keung/HK Alliance, via Facebook.

Dalam waktu kurang dari 24 jam, Fung Ka Keung menerima notifikasi penolakan e-pigura dari Facebook, dengan alasan bahwa e-pigura tersebut tidak sesuai dengan aturan dan ketentuan perusahaaan. Pesan Facebook yang Fung terima menjelaskan bahwa piguranya memiliki makna “meremehkan, mengancam atau menyerang orang, badan hukum, kewarganegaraan atau kelompok tertentu.”

Setelah insiden tersebut bocor ke media lokal. Facebook menulis pernyataan maaf dan memperbolehkan pigura tersebut digunakan. Kenapa awalnya Facebook menolak? Banyak yang berspekulasi bahwa penolakan tersebut merupakan upaya Facebook mencari muka ke pemerintah Tiongkok daratan, karena Facebook diblokir sejak 2009.

Selain aktivisme dan konten politis, kisah-kisah maupun rumor yang muncul di Facebook dapat memicu situasi yang lebih parah seperti amuk preman maupun kekerasan dalam ranah hidup keseharian. Kisah terakhir kami mencatat insiden yang terjadi di Brazil tahun 2014.

Dibunuh oleh massa beringas dan rumor palsu [28]

Di Brazil, Fabiane Maria de Jesus meninggal di tangan massa beringas [28] yang terprovokasi oleh berbagai gosip online yang tersebar di Facebook.

Pengumuman tentang adanya perempuan penculik di kota litoral Guarujá, di Brazil, tampil di Laman Facebook Guarujá Alerta [29](Guaruja Alert) yang disukai 24.000 pengguna. Pengumuman tersebut mencantumkan sketsa wajah yang mirip de Jesus. Ketika salah satu penyuka laman tersebut menuding de Jesus sebagai orang dalam sketsa itu, mereka yang terprovokasi di ranah daring berubah menjadi massa beringas dan terjadilah pembunuhan akibat amuk massa.

Saat itu kepolisian daerah sama sekali tidak memiliki laporan anak hilang. Sketsa yang beredar merupakan sketsa dari kasus penculikan tahun 2012 yang terjadi di Rio de Janeiro, dan telah muncul di Facebook dalam berbagai macam peristiwa kriminal di berbagai negara bagian Brazil..

Menurut surat kabar A Tarde [30], sekelompok teman para tertuduh melalkukan demo di depan markas polisi. Mereka menyerukan:

Quer prender todo mundo? A culpa é de todo mundo! A culpa é de ninguém! A culpa é da internet!

Apakah kamu akan menahan semua orang? Ini kesalahan semua orang! Tak seorangpun bersalah! Ini kesalahan internet!

 

Daftar artikel lama kami, sila kunjungi laman Liputan Khusus Facebook [11].