- Global Voices dalam bahasa Indonesia - https://id.globalvoices.org -

Apa Persamaan Bitcoin, Tulip Mania dan Bursa Saham Nigeria?

Kategori: Afrika Sub-Sahara, Nigeria, Ekonomi & Bisnis, Gagasan, Media Warga, The Bridge
[1]

Foto domain publik dari Unsplash, dipadu gambar dari www.vpsi.org. Wikimedia Commons (CC BY 2.0)

Oleh N. M. Bassey

Semua orang mau uang: pengemis, pelajar, pencuri, pekerja, milyuner– semua orang. Uang menentukan pilihan-pilihan yang tersedia untukmu, dimana kamu dapat tinggal dan hal-hal yang boleh kamu lakukan atau tidak. Oleh sebab itu, manusia selalu berusaha mendapatkan banyak uang, pendapatan. Ekonom menyebutnya hukum keinginan tidak terbatas. Manusia selalu ingin lebih dan keinginan kita tidak dapat terpuaskan.

Untuk memperoleh lebih banyak uang, kita melakukan banyak hal: bekerja, mencuri, mengemis. Namun cara yang lebih terhormat, dengan kesuksesan yang lebih terjamin, kita berinvestasi. Investasi memiliki andil dalam mengubah masa depan finansial orang dan mampu mengeluarkan kita dari kemiskinan. Beragam bisnis menyediakan barang dan jasa dan mereka telah melakukan hal ini sejak lama, namun paradigma kini telah berubah untuk menunjukan bahwa investasi terpenting adalah investasi yang memerlukan waktu dan pengamatanmu. Investasi penting adalah investasi dimana uang bekerja untukmu.

Muncullah real estate, komoditas, bursa saham, pertukaran valas dan yang teranyar, berbagai mata uang kripto [2]. Pola-pola investasi ini menawarkan hasil yang tidak mengandalkan waktu atau jerihmu, namun berinvestasilah di waktu yang tepat, maka kamu akan menjadi kaya — atau setidaknya menjadi sedikit lebih kaya—dibandingkan sebelum kau berinvestasi. Ide yang hebat, kecuali apabila investasi tersebut kandas: pasar real estate hancur, pertukaran valas tidak menghasilnya nilai yang diidamkan, ketika harga komoditas (contoh: minyak mentah) terjun bebas, dan ketika nilai mata uang kripto hancur.

Tulip Mania

Investasi hancur lebur bukanlah peristiwa baru. Kejadian terlawas yang pernah dicatat adalah tulip mania di abad ke-17. Bunga tulip mulai dikenal masyarakat Belanda 100 tahun sebelumnya. Popularitasnya menanjak dan menjadi benda idaman kalangan menengah keatas. Bunga indah ini amat sulit didapat, menjadikan mereka amat digandrungi. Segelintir orang melihatnya sebagai kesempatan memperoleh uang, membeli umbi tulip dalam jumlah besar dengan harapan memperoleh keuntungan ketika mereka merekah. Tak lama, tulip diperjual-belikan di Bursa Saham Amsterdam, dan orang-orang mulai membeli secara spekulatif.

Meski tulip tidak memiliki kegunaan praktis, tidak wangi dan tidak memiliki faedah seperti halnya tanaman obat, dipuncak Tulip Mania, segelintir investor menjual rumah mereka untuk membeli umbi tulip dengan harga setara AS $76.000 dalam nilai mata uang hari ini. Terdengar mirip sesuatu?

kemudian, mereka yang bekerja sebagai pengulak sejak awal, mulai menjual usaha dagang tulip mereka, akibatnya harga tulip melemah. Saat harga turun drastis, orang berbondong-bondong menjual barang milik mereka, dan tak lama pasar sarat penjual namun nihil pembeli. Penjualan panik semakin terjadi, hingga dalam kurun satu bulan tulip yang sebelumnya dijual AS $76.000 dihargai kurang dari satu dolar. Upaya pemerintah untuk membuat peraturan untuk mengatur pasar dan harga tulip, berakhir sia-sia. Gelembung tulip meletus, pasar tulip luluh lantak, tulip mania berakhir dan pemerintah Belanda memerlukan tahun-tahun lamanya untuk pulih dari kejutan yang menimpa mereka.

Pertama kali saya membaca tentang Tulip Mania, saya menemukan sejumlah persamaan yang teramat mencengangkan dengan mata uang kripto dan Bitcoin. Tulip mania dimulai dengan adanya sejumlah orang membeli sesuatu yang tidak mereka butuhkan karena mereka yakin bahwa suatu saat nanti orang lain akan membeli benda tersebut lebih mahal dari nilai beli, meskipun benda tersebut tidak memiliki kegunaan praktis.

Bitcoin [3], diciptakan oleh sosok enigmatis bernama Satoshi Nakamoto, Bitcoin didesain untuk menjadi model baru pinjaman peer-to-peer —sebuah mata uang yang mampu membablas pihak ketiga seperti bank, perusahaan valas dan pemerintah, dan mengirim dana pada mereka yang membutuhkan dengan aman, otentik dan dapat diverifikasi. Pola ini memuaskan banyak orang dam membuka banyak kemungkinan baru. Masalahnya? Bitcoin dan mata uang kripto pada umumnya, gagal menampilkan makna mereka, setidaknya hingga sejauh ini.

Hingga sekarang, Bitcoin tidak memiliki kegunaan penting. Faedahnya amat kecil dibandingkan dengan moda pembayaran yang sudah ada, dan agar bisa digunakan secara luas, Bitcoin harus ditukar kedalam mata uang tertentu. Jadi, sama halnya pembeli tulip menginvestasikan ribuan dolar untuk membeli bunga yang tidak memiliki nilai intrinsik apapun, kini masyarakat berlomba berinvestasi kedalam suatu hal yang nilainya masih dipertanyakan. Dan ketika seseorang merelakan uang mereka untuk membeli barang yang tidak memiliki nilai intrinsik atau kegunaan yang jelas, itu artinya mereka mengambil risiko serius.

Bursa Saham Nigeria

Di penghujung era 2000, Bursa Saham Nigeria mulai melesat. Sesaat sebelumya saham misterius mulai melesat nilainya, dan berita bursa saham mendadak menjadi tajuk utama. Analis penanaman modal merayakan kenaikan harga saham sebagai kapitalisasi pasar [4]. Orang-orang meraup keuntungan hingga 100%. Buntutnya, firma broker mulai memasarkan diri secara intensif. Berbekal kejadian lonjakan sebagai bukti, mereka berhasil meyakinkan ribuan orang untuk menanam modal di bursa Nigeria. Masyarakat mulai berspekulasi jual-beli jangka pendek, mengucurkan jutaan kedalam saham tanpa meneliti sebelumnya tingkat profitibilitas mereka, aset dasar ataupun catatan pembagian dividen/bonus. Didukung oleh peningkatan grafik bursa, spekulan semakin membabibuta dalam mengucurkan dana, diantara mereka bahkan nekad mengambil pinjaman untuk membeli IPO yang mencurigakan.

Kurang dari satu tahun, bursa Nigeria kandas luar biasa. Dari 13,5 miliar nairas pada bulan Maret 2008, kapitalisasi pasar luluh lantak ke nilai 4,6 miliar Naira pada bulan Januari 2009. Ratusan broker saham kehilangan pekerjaan mereka, firma-firma tutup dan dana pensiun tidak mampu menepati janji-janji mereka.

Catatan dan pelajaran dari tiga kasus kita

  • Biasanya pembeli awallah yang meraup keuntungan dari aktivitas spekulasi
  • Benda tanpa nilai intrinsik tertentu amatlah tidak terduga
  • Orang selalu ingin mengambil keuntungan dari orang lain dan akan ikut serta cara apapun untuk menciptakan “investasi” yang dipertanyakan
  • Ketika sesuatu sering diberitakan/ sedang berada di titik tertinggi, maka bukan waktu tepat membelinya
  • Semakin kau paham investasimu, semakin baik
  • Jangan spekulasi dengan uangmu secara sembarang
  • Tahu saatnya hengkang—jangan serakah!
  • Hati-hati terhadap koin yang membanjiri Internet, terutama yang meminta “sumbangan kecil”

Saat artikel ini ditulis, Bitcoin ditukar di kisaran $9.000-10.000, separuh harga dibandingkan dua bulan lalu. Para investor panik, mereka yang membeli murah—harga beli bulan  Januari 2017 adalah $960—berhasil meraup untung dan mereka yang membeli diatas nilai $8.000 gigit jari.

Para ahli masih belum sependapat mengenai masa depan Bitcoin. Tahun 2014, Bank Dunia menyamainya dengan skema Ponzi [5] dan yang lain menyebutnya penipuan berbahaya tingkat dunia [6], sedangkan ekonom John Lanchester melihatnya dengan lebih optimistis [7].

Secara pribadi, saya mencari cara-cara menanam modal dalam hal-hal yang memiliki nilai intrinsik, seperti pembangkit tenaga listrik untuk Nigeria, pil penurun berat badan instan, sepeda yang didesain untuk orang gemuk, dan ya, blockchain, tapi untuk buku [8]. Apapun yang memiliki permintaan yang belum terjawab.

Saya menyingkir dari hal-hal yang saya tidak pahami, dan saya belajar mengenali sesuatu yang “hype” atau yang diberitakan atau yang sedang berbondong-bondong dibeli disaat yang bersamaan mungkin ada baiknya tidak membeo. Saya belajar untuk meneliti sebelum membeli, alih-alih mempercayakan pengetahuan finansial orang lain untuk diri saya sendiri.

Ketika Bitcoin dilepas di nilai tertinggi, yaitu $19.783 di bulan Desember 2017, saya coba memperingatkan masyarakat atas kemungkinannya untuk kandas. Salah satu dari mereka mencibir ujaran saya dan menyebutnya mustahil. Saya penasaran apa yang dia rasa sekarang.

N. M. Bassey adalah narablog dan komentator Nigeria. Dia menulis blog  The Naija Writer [9], dan dapat dihubungi di akun Twitter @StNaija [10]