- Global Voices dalam bahasa Indonesia - https://id.globalvoices.org -

Kemungkinan Kesepakatan Isu Siprus Tertunda Sampai 2017

Kategori: Eropa Barat, Siprus, Hubungan Internasional, Media Warga, Politik, Sejarah
UN buffer zone, Cyprus. Creative commons.

Zona Netral PBB, Siprus. Creative commons [1].

Pada tanggal 20 November, Presiden Siprus Nicos Anastasiades dan pemimpin Siprus Turki Mustafa Akinci bertemu untuk kedua kalinya di Mont-Pelerin, Swiss, untuk melanjutkan pembicaraan mengenai isu Siprus. Pembicaraan itu, yang mana berlangsung selama dua hari, berakhir [2] tanpa kesepakatan dan mengakibatkan kedua belah pihak saling menyalahkan.

Negara Siprus terbelah sejak tahun 1974, pasca invasi Turki yang dipicu oleh meningkatnya ketegangan antar etnis dan terjadinya kudeta di pulau Siprus, yang didukung oleh junta militer yang berkuasa di Yunani pada saat itu. Setelah invasi, pasukan Turki menetap di pulau itu dan Republik Turki Siprus Utara (TRNC)  mendeklarasikan diri secara sepihak, menjadi sebuah entitas yang hanya diakui oleh Turki, didirikan untuk memerintah bagian utara pulau itu. Sejak itu, telah dicapai sedikit kemajuan berkaitan dengan reunifikasi pulau di Mediterania ini. Negosiasi yang dilaksanakan sekarang ini dianggap [3] sebagai “kesempatan terakhir” untuk penyelesaian isu tersebut dengan sukses.

Sebelum pertemuan di Mont-Pelerin, kedua belah pihak tampak optimis dengan hasil pembicaraan. Sebelum berangkat untuk pembicaraan awal, Akinci sangat berharap di Twitter:

Bertempat di Swiss tanggal 7-11 Nov, gol kami adalah memecahkan #CyProb [4] di tahun 2016. Akan membahas masalah wilayah & semua masalah lainnya yang saling terikat dan belum terpecahkan

Setelah pembicaraan terkini, Penasihat Khusus PBB tentang Siprus, Espen Barth Eide, juga berbagi optimisme ini:

Setelah satu minggu masa reses, #MontPelerin [6] yang cerah menyambut kembali pemimpin & tim negosiasi #Cyprus [7] untuk kelanjutan negosiasi. #UnitedByHope [8] pic.twitter.com/vopqCkq3RF [9]

Meskipun semua harapan itu, pembicaraan tersebut yang mana dimaksudkan untuk fokus pada masalah teritorial dan membuat peta baru atas batas-batas internal untuk sebuah Federasi Siprus di masa depan, berakhir tanpa kesepakatan.

[11]

Siprus dari angkasa, NASA. Wikimedia, domain gratis.

Setelah keberangkatan mereka dari Mont-Pelerin, seorang juru bicara Akinci menuduh pihak Siprus Yunani bersikeras dengan tuntutan ekstrim [12] soal wilayah dan masalah lain. Memang, sebelum pembicaraan, pandangan ini menggema dari beberapa orang masyarakat dan terlihat melalui komentar di media sosial dan tanggapan pada artikel online.

Bacalah tanggapan ini atas artikel yang terbit [13] di Cyprus Mail, sebuah surat kabar harian di Siprus. Seseorang bernama “Hasan Cypriot” mengakui bahwa wilayah Morfou, Semenanjung Karpass dan Mesaoria — sebagai wilayah dari Republik Turki Siprus Utara saat ini — dan menegaskan bahwa tuntutan Siprus Yunani atas wilayah adalah “tuntutan abadi”:

Tidak terima kasih. Tuntutan tanpa akhir dari pihak Yunani adalah, seperti yang saya katakan, “abadi?”
Wilayah Morfou, Wilayah Karpaz. Wilayah Mesaoria Plain. Semua wilayah itu!
Ya, ya, tentu saja!

Di sisi lain, Siprus Yunani sangat prihatin [14] atas diberikannya hak campur tangan militer kepada Turki serta menempatkan pasukan di pulau itu, yang mana diinginkan oleh pihak Siprus Turki dalam bentuk apapun. Siprus Yunani mengatakan bahwa itu akan melemahkan kedaulatan pulau itu.

Bagi beberapa kritikus dari pihak Siprus Yunani, pembicaraan itu membenarkan asumsi mereka selama ini tentang kedudukan negosiasi itu. Misalnya, seseorang bernama EntimosKritiss berkomentar [15] bahwa:

Οι συνομιλίες ήταν πάντοτε μια λανθασμένη και προδοτική επιλογή που μοναδικό σκοπό είχε να διαιωνίσει την παραμονή του εχθρού στην κατεχόμενη πατρίδα χωρίς προβλήματα και χωρίς διαμαρτυρίες

Perundingan selalu menjadi pilihan yang salah dan penuh pengkhianatan yang tujuannya hanya untuk mengabadikan pendudukan musuh atas negara ini [Siprus] tanpa masalah atau protes.

Selain itu, beberapa orang menyatakan bahwa sistem baru yang diusulkan pemerintah akan memerlukan [16] penciptaan “berbagai kamar, parlemen dan senat, dengan sistem veto berlanjut” yang akan membuat “negara” baru itu tidak berfungsi dari awal. Mereka mengatakan hal ini akan tidak menguntungkan [17] khususnya untuk Siprus Yunani dan akan menciptakan eksodus dalam skala besar dari pulau itu. Keprihatinan ini disuarakan oleh Aris Petasis dalam sebuah artikel [17] yang dipublikasikan pada situs web dari Michalis Ignatiou, seorang wartawan Yunani:

οι 5,000+ νέων που πάνε για σπουδές, στην πλειονότητα τους δεν θα επιστρέφουν.

Mayoritas dari 5.000+ mahasiswa yang belajar di luar negeri tidak akan kembali [ke Siprus].

Artikel itu lebih lanjut menyatakan [17] bahwa orang-orang yang akan meninggalkan negara itu akan menjadi dokter, insinyur, dan pengusaha kaya. Kelompok-kelompok ini diduga memilih [17] tinggal di tempat yang relatif stabil dari pada hidup dalam kondisi ketidakpastian yang abadi dan kelumpuhan politik yang akan terjadi di Siprus di bawah sistem yang diusulkan.

Persoalan penting lainnya bagi kedua pihak adalah apakah dua komunitas yang telah tinggal terpisah selama lebih dari 40 tahun akan mampu hidup berdampingan secara damai di pulau itu. Di bulan November 2015, dua warga Siprus Turki  diserang [18] oleh sekelompok mahasiswa saat protes terhadap ulang tahun deklarasi sepihak dari negara pecahan Siprus Turki, sebuah insiden yang telah dikutuk oleh Presiden Siprus Anastasiades. Selain itu, pada bulan Mei 2016, tiga warga Siprus Turki dilaporkan [19] diserang oleh sekelompok pengendara sepeda motor Siprus Yunani. Baru-baru ini, ada serangan [20] pada seorang sopir taksi Siprus Turki pada tanggal 21 November di Nicosia. Walaupun tidak jelas [20] apakah serangan terakhir ini bermotif politik atau tidak, kekerasan tersebut membuat beberapa orang khawatir atas potensi ketegangan antara dua kelompok ketika terintegrasi.

Setelah pembicaraan putaran kedua di Mont-Pelerin, kedua belah pihak sepakat untuk menghadiri konferensi multilateral, yang akan diselenggarakan di Jenewa pada tanggal 9-12 Januari, 2017. Konferensi ini juga melibatkan Inggris sementara “pihak-pihak terkait lainnya akan diundang apabila dibutuhkan,” menurut laporan berita Greek Reporter [21] mengutip Utusan Khusus PBB untuk Siprus, Espen Barth Eide. Konferensi ini akan menjadi titik penting dalam negosiasi di mana semua masalah besar akan dibahas [15].

Tahun ini akan menentukan apakah isu Siprus akan jelas atau tidak. Negosiasi yang sedang berlangsung dan serangkaian keadaan, semua tampaknya mendukung terciptanya solusi. Mungkin satu solusi akan hadir bagi Siprus Yunani dan Siprus Turki di awal tahun depan. Namun, agar supaya solusi bisa disepakati, dua referendum yang terpisah harus diselenggarakan pada kedua belah pihak di pulau itu. Seperti yang terjadi pada referendum di Kolombia, Italia dan Inggris belakangan ini, bahwa hasil yang tak terduga dapat membuat keadaan menjadi jauh lebih rumit daripada ketika memulai.