- Global Voices dalam bahasa Indonesia - https://id.globalvoices.org -

Ancaman UU Kejahatan Komputer Thailand yang Baru Terhadap Kebebasan Berpendapat

Kategori: Asia Timur, Thailand, Hak Asasi Manusia, Hukum, Kebebasan Berbicara, Media & Jurnalisme, Media Warga, Pemerintahan, Politik, Sensor, GV Advocacy

 

Activists stage a rare protest in Bangkok a few days after the passage of the revised Computer Crimes Act. Image from Prachatai [1]

Para aktivis menggelar demonstrasi setelah disahkannya UU Kejahatan Komputer. Foto : Prachatai, digunakan seijin fotografer.

Badan legislatif nasional Thailand melakukan pemungutan suara [2] secara tertutup pada tanggal 15 Desember 2016 untuk mengamandemen Undang-Undang Kejahatan Komputer tahun 2007. Undang-Undang yang baru, yang akan berlaku setelah 180 hari, telah dikritik [3] oleh sejumlah aktivis hak asasi manusia (HAM) karena berisi peraturan-peraturan yang mengancam kebebasan berekspresi di Thailand.

Undang-Undang ini disetujui oleh parlemen yang anggota-anggotanya ditunjuk oleh militer, yang mengambil alih kekuasaan melalui kudeta pada 2014. Junta militer mengatakan perlunya amendemen undang-undang untuk memerangi [4] kejahatan siber, banyak kritik yang kuatir bahwa hal itu sesungguhnhya dimaksudkan untuk menekan pihak yang menentang (pemerintah).

Sebuah petisi online melawan legislasi yang digalang oleh Jaringan Netizen Thailand (Thai Netizen Network – TNN) telah mengumpulkan [5] lebih dari 370,000 tanda tangan. Petisi tersebut mengutip beberapa larangan [6] pada UU yang dapat digunakan oleh pemegang otoritas untuk menekan media dan bahkan para pengguna internet pada umumnya.

Sebagai contoh, pasal 14 UU tersebut mengkriminalkan pengiriman dari “data computer yang tidak sepatutnya” atau konten berita di internet yang membahayakan “stabilitas dan keamanan nasional, keamanan publik, keamanan ekonomi nasional atau infrastuktur publik yang melayani kepentingan publik atau menyebabkan kepanikan publik.”

Koran The Bangkok Post mengungkapkan kecurigaan [7] atas berbagai ketentuan tersebut:

Tidak ada definisi yang jelas mengenai aksi-aksi apa saja yang dikategorikan sebagai pelanggaran dalam pasal ini. Akankah mengritik mega-proyek pemerintah akan dianggap membahayakan keamanan nasional atau infrastruktur publik?  Bagaimana mengenai opini-opini tentang kondisi ekonomi negara?

Junta #Thailand telah memaksakan UU siber yang dapat menyensor dan menyeret berita terkait HAM sebagai distorsi informasi atau sesuatu yang membahayakan negara

Sementara itu, pasal 15 dapat mengarahkan praktik self-censorship pada pihak penyedia-penyedia layanan internet (Internet Service Providers/ISPs) lokal karena pasal tersebut menghukum semua pihak yang “bekerja sama [dalam menyebarluaskan] data komputer yang dianggap salah”. Pasal ini juga memungkinkan para penguasa untuk mendapatkan data lalu lintas internet dari ISP-ISP tanpa persetujuan pengadilan. Hal ini dapat berdampak [12] pada situasi yang akan merugikan baik dunia usaha maupun para konsumen.

Pasal 16 mengkriminalkan kepemilikan informasi yang oleh pengadilan telah diperintahkan untuk dihancurkan. Ini dapat menganggu [13] kerja para peneliti dan wartawan. Sebagian orang kuatir bahwa penyimpanan data komputer atau sejarah selancar internet dari warga biasa akan dimanfaatkan para pemegang otoritas, untuk memantau jika mereka menyimpan data terlarang.

Pasal 18 memungkinkan para pemegang otoritas untuk mengakses data yang dienkripsi. Tidak dijelaskan tentang pelaksanaannya.

Pasal 20 menguatkan sebuah komite yang ditunjuk oleh pemerintah untuk memonitor dan bahkan memerintahkan untuk membuang isi internet yang berbahaya.  The Bangkok Post mengacu larangan ini ketika menerbitkan editorial yang mengkritik amandemen UU:

Cacat paling serius dari amandemen rancangan UU tersebut adalah pemberian kekuasaan secara berlebihan pada para pemegang otoritas resmi, yang memungkinkan mereka memutuskan sendiri tentang tindakan-tindakan tertentu dinilai sebagai pelanggaran hukum.

Bahkan meskipun hukum itu sendiri belum berlaku, para pemegang otoritas tersebut telah secara agresif memblokir isi internet yang ‘tidak aman’, terutama yang tidak menghormati kerajaan. Thailand menerapkan hukum  lese majeste (anti penistaan terhadap kerajaan) secara ketat,  yang diyakini para aktivis telah disalahgunakan oleh junta menahan para lawan politik. Menurut pemerintah, setidaknya ada 1.370 situs yang ditutup [14] selama bulan Oktober karena melanggar hukum lese majeste. Jumlah ini meningkat drastis jika dibandingkan dengan 1.237 situs yang ditutup oleh pemerintah dalam lima tahun terakhir

Cartoon of the day : Revisi UU Kejahatan Komputer

Prime Minister Prayuth Chan-ocha defended [20] the law by insisting that it will not violate civil liberties. Some businesses also welcomed [21] the passage of the law which they believe will protect intellectual property rights and spur [22] the development of the digital economy.

Perdana menteri Prayuth Chan-ocha mempertahankan [20] UU tersebut dengan menandaskan bahwa hal itu tidaklah mengganggu kebebasan sipil. Beberapa pengusaha juga menyambut [21] baik beberapa pasal dari hukum tersebut yang mereka yakini akan melindungi hak-hak kekayaan intelektual dan mempercepat [22] perkembangan ekonomi digital.

Tetapi protes-protes langsung digelar [1] beberapa hari sesudah UU disahkan  oleh parlemen. Kelompok aktivis online Citizens Against Single Gateway  mengklaim bahwa mereka telah meretas [23] beberapa situs pemerintah.

Rakyat Thailand akan marah jika pemerintah tidak mendengarkan aspirasi mereka.

Pemerintah Thailand ingin mengawasi internet? Polisi sendiri tidak dapat melindungi data mereka dari serangan #Anonymous, apakh data kita akan aman di tangan mereka?

Jaringan Netizen Thailand menghargai tindakan Anonymous, tapi mereka juga memikirkan keamanan data masyarakat umum pengguna internet.

Terima kasih atas dukungannya, #Anomymous. Tindakanmu telah mencapai sasaran. Hanya saja, harap dihindari untuk meretas situs yang memuat data warga negara.

Several international groups such as the United Nations Human Rights Office [36] in Asia and the Committee to Protect Journalists [37] also issued statements expressing concern about the passage of the law.

Beberapa lembaga internasional seperti United Nations Human Rights Office [36]di Asia dan Committee to Protect Journalist [37] juga mengeluarkan pernyataan tentang kepedulian mereka pada beberapa pasal yang termuat dalam draft UU.

Video [38] ini dibuat oleh The Nations ini merangkum kritis dari beberapa kelompok media tentang undang-undang yang problematik tersebut: