Selama hampir satu bulan, publik mengabaikan berita tentang seorang gadis Indonesia berusia 13 tahun yang diperkosa oleh 14 pria dan dibunuh, April lalu. Para aktivis dan sekelompok feminis kemudian meluncurkan kampanye media sosial menyerukan keadilan, akhirnya memaksa masalah ini menjadi sorotan, dan memicu pembicaraan nasional tentang mengakhiri kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak.
Yuyun, siswa yang cerdas di kelasnya, ditemukan tewas dengan tangan terikat di perkebunan karet. Dua belas dari pemerkosanya diduga kini telah ditangkap, tapi dua lagi masih buron. Sebagian besar tersangka juga anak di bawah umur seperti Yuyun yang berarti mereka akan dihukum 10 tahun penjara jika terbukti bersalah.
Tagar #nyalauntukyuyun (“Cahaya lilin untuk Yuyun”) digunakan untuk mengimbau masyarakat menyalakan lilin dan meminta keadilan bagi gadis belia itu.
Para pengguna internet berbagi simpati mereka buat keluarga Yuyun, dan Presiden Indonesia Jokowi juga berjanji akan menangkap para pelaku:
— Joko Widodo (@jokowi) May 4, 2016
Banyak juga yang mendesak untuk menerima Penghapusan RUU Kekerasan Seksual:
Merunut #NyalaUntukYuyun.
Semoga kamu abadi dalam damai.
Semoga kematianmu membawa perubahan & menyelamatkan perempuan2 lain.— Alissa Wahid (@AlissaWahid) May 2, 2016
Aksi solidaritas tuk Yuyun #NyalaUntukYy Stop Kekerasan thd perempuan! Brs Panti asuhan pengajian Al Faqieh Cimalaka pic.twitter.com/85QcQ5U6EC
— maman imanulhaq (@kang_maman72) May 6, 2016
Petisi · Komisi VIII DPR RI: URGENT! Desak Pembahasan UU Penghapusan kekerasan Seksual. #YuyunAdalahKita https://t.co/L2HX5R2tLP
— Ulin Yusron (@ulinyusron) May 3, 2016
Menyalahkan Korban
Biarpun pesan-pesan kasih sayang tercurah untuk keluarga Yuyun, ada juga orang yang menyalahkan korban karena entah bagaimana memprovokasi orang-orang untuk memperkosa dan membunuhnya.
Diana Nurwidiastuti, korban pelecehan seks, menyesalkan sikap tersebut:
Karena kita masih sering memandang hina korban pemerkosaan. Karena kita masih menyalahkan tampilan korban, mengkambinghitamkan rok mini sebagai godaan tak tertahankan. Karena kita masih berpikir korban pemerkosaan juga menikmati seks yang dipaksakan. Karena kita tidak memberikan dukungan kepada korban untuk melawan. Karena kita yakin bahwa korban sodomi kelak akan menjadi pelaku yang melahirkan pelaku-pelaku lain dan itu adalah lingkaran setan. Dan karena kita masih menganggap pelecehan seksual adalah musibah dan aib yang perlu disembunyikan.
Yang lain menyalahkan alkohol sebagai penyebab pemerkosaan. Mantan menteri Tifatul Sembiring dari partai Islam percaya bahwa, bukan RUU Kekerasan Anti-seksual, apa yang lebih mendesak adalah undang-undang anti-minuman keras untuk diusulkan:
Minuman keras itu induk dr segala kejahatan. Bukti sdh banyak: Perkosaan, pembunuhan, tabrak lari, bunuh isteri. Dukung RUU Larangan Miras.!
— Tifatul Sembiring (@tifsembiring) May 7, 2016
Kejahatan terhadap anak di bawah umur hampir selalu diperlakukan sebagai kejahatan domestik dan sering hilang tanpa dilaporkan di Indonesia. Berita tentang perdagangan manusia dan kekerasan terhadap anak di bawah umur sebagian besar muncul dalam publikasi lokal dan jarang menghasilkan perhatian nasional yang luas.
Tahun lalu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengatakan bahwa antara tahun 2010 dan 2014 ada lebih dari 21 juta kasus yang dilaporkan mengenai pelanggaran hak asasi manusia terhadap anak-anak, 58 persen di antaranya adalah kejahatan seksual. Sementara itu, Komisi Nasional Indonesia Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat 16.217 kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2015.