Aqeela Asifi: Guru Kamp Pengungsian yang Pantang Menyerah

Aqeela Asifi

Aqeela Asifi bercerita tentang perjuangannya. Image: Varkey Foundation Global Teacher Prize / YouTube

Coba bayangkan, setelah mengajar selama 23 tahun di sebuah kamp kecil bagi pengungsi Afganistan di  desa Kot Chandana, sebuah daerah di tepi provinsi Punjab Pakistan, tiba-tiba, suatu hari Stephen Hawking secara pribadi mengakui Anda dan hasil kerja Anda. Itulah yang kini dirasakan Aqeela Asifi, salah seorang guru yang masuk dalam jajaran sepuluh besar finalis Global Teacher Prize tahun ini. Dalam sebuah video yang diunggah di halaman Facebook kontes tersebut, terlihat Profesor Hawking sedang mengumumkan para finalis tahun ini, dan Asifi termasuk salah satu diantaranya.

Website dari kompetisi tersebut menyatakan penghargaan itu diberikan setiap tahunnya kepada para pendidik luar biasa:

The Global Teacher Prize is a US $1 million award presented annually to an exceptional teacher who has made an outstanding contribution to their profession. The prize serves to underline the importance of educators and the fact that, throughout the world, their efforts deserve to be recognised and celebrated.

Global Teacher Prize merupakan penghargaan senilai 1 juta USD yang dipersembahkan setiap tahunnya kepada para guru luar biasa yang telah memberikan kontribusi mengagumkan bagi profesinya. Penghargaan ini dimaksudkan untuk menekankan pentingnya peran seorang pendidik dan fakta bahwa segala jerih payah mereka layak untuk diakui dan dirayakan di seluruh dunia.

Kehidupan Asifi di Afganistan sendiri sebenarnya cukup sederhana. Dia berasal dari keluarga yang mendukung haknya untuk memperoleh pendidikan, meski bertentangan dengan adat istiadat. Dia berkarir sebagai guru di Kabul. Namun ketika Taliban mengambil alih kekuasaan, dia terpaksa berhenti dari pekerjaannya. Kemudian Asifi dan keluarganya mencari suaka di Pakistan pada tahun 1999, berharap kehidupan yang lebih baik dan lebih aman ke depannya.

Di kamp pengungsi Afganistan itulah dia kembali menunjukkan keberanian dan semangat pantang menyerahnya untuk mendidik gadis-gadis pengungsi asal Afganistan. Pekerjaan yang dijalaninya ini bukanlah pekerjaan yang mudah, dan Asifi pun akhirnya menyadari bahwa yang dihadapinya adalah orang-orang yang tidak memiliki gambaran tentang hak memperoleh pendidikan bagi para wanita. Dalam sebuah wawancara dengan panitia Global Teacher Prize, Asifi memaparkan pengalamannya dengan singkat:

When I asked the girls why they were going absent from school, they said girls are not supposed to go to school.

Ketika saya bertanya kepada para gadis tersebut mengapa mereka tidak masuk sekolah, mereka bilang perempuan tidak seharusnya pergi ke sekolah.

Tanpa mengenal lelah, Asifi membangun sebuah kelas kecil di kamp pengungsian tersebut, yang kemudian menjadi tempatnya mengajar selama bertahun-tahun dan menerima berbagai penghargaan atas karyanya. Dia sudah mengajar sangat lama sehingga kini dia pun mulai mengajar anak-anak perempuan dari murid generasi pertamanya:

The girls I taught 20 years ago now send their daughters to my school, so I’m teaching the second generation of my students.

Para gadis yang saya didik 20 tahun lalu kini mulai mengirimkan putri-putrinya ke sekolah saya, sehingga kini saya mengajar generasi kedua dari para murid saya.

Lili Mao, seorang mahasiswa pasca sarjana jurusan Manajemen Pertelevisian di Drexel University, berkunjung ke Pakistan Desember lalu untuk memfilmkan kerja Asifi bersama para gadis-gadis Afganistan. Mao mengatakan dia menyaksikan keinginan kuat para gadis-gadis itu akan pendidikan, katanya :

I interviewed some girls at their school, and they shared their dreams with me. One girl said that she wanted to be a teacher, so that she could teach other refugee girls like Asifi. Another girl said that she wanted to be a doctor to serve her country.

Saya mewawancarai beberapa gadis di sekolah tersebut, dan mereka membagi impiannya kepada saya. Salah satu gadis mengatakan bahwa dia ingin menjadi guru, agar nantinya dia dapat mengajar gadis pengungsi lain seperti Asifi. Gadis yang lain mengatakan ingin menjadi dokter agar dapat membantu negaranya.

Peraih penghargaan Nobel asal Pakistan  Malala Yousafzai, yang terkenal karena mempromosikan hak universal akan pendidikan, juga menghubungi Asifi lewat telepon untuk mengucapkan selamat atas terpilihnya Asifi sebagai salah satu finalis penerima Global Teacher Prize. Ayah Malala Yousafzai, Ziauddin Yousafzai, juga mengungkapkan harapan terbaiknya kepada Asifi melalui Twitter:

Malala dan saya mengucapkan selamat kepada Aqeela atas terpilihnya sebagai finalis Global Teacher Award dan untuk jerih payahnya di bidang pendidikannya.

Ini bukan kali pertama hasil karya Asifi diakui. Pada tahun 2015, dia menerima Nansen Refugee Award dari Commisioner Tinggi PBB yang mengurusi para pengungsi.

Menariknya, kini Asifi mengelola sembilan sekolah yang berbeda dengan jumlah murid berkisar 900 orang.

Para pengguna internet di seluruh Pakistan pun menyambut hangat atas nominasinya:

Saya merasa terinspirasi setelah bertemu dengan Aqeela Asifi, seorang yang pemberani dan pejuang pendidikan yang tak kenal lelah demi para gadis Afganistan #refugees in #Pakistan.

Seorang guru asal PAKISTAN di SEPULUH BESAR Global Teacher Prize Stephen Hawking. Selamat Aqeela Asifi.

Selamat kepada Aqeela Asifi yang telah berhasil mencapai finalis 10 besar untuk Global Teachers Prize.

Bangga mempunyai wanita super seperti Aqeela Asifi. Kekuatan lebih untuk orang-orang seperti itu.

Aqeela Asifi asal Pakistan berhasil menuju final dalam Global Teacher Prize.

Finalis yang lain, dipilih dari beberapa 8000 pelamar, termasuk guru-guru asal Palestina, India, Amerika Serikat dan Inggris, Kenya, Finlandia, Australia, dan Jepang. Global Education and Skills Forum akan mengumumkan pemenangnya pada 13 Maret 2016 di Dubai. Apapun hasilnya, Asifi telah berhasil memenangkan hati banyak orang dengan hasil karyanya dalam pendidikan, dan itu pun masih akan terus berlanjut.

Mulai Percakapan

Relawan, harap log masuk »

Petunjuk Baku

  • Seluruh komen terlebih dahulu ditelaah. Mohon tidak mengirim komentar lebih dari satu kali untuk menghindari diblok sebagai spam.
  • Harap hormati pengguna lain. Komentar yang tidak menunjukan tenggang rasa, menyinggung isu SARA, maupun dimaksudkan untuk menyerang pengguna lain akan ditolak.