- Global Voices dalam bahasa Indonesia - https://id.globalvoices.org -

Pudarnya Tradisi Chhaupadi di Nepal

Kategori: Asia Selatan, Nepal, Agama, Hak Asasi Manusia, Kaum Muda, Kesehatan, Media Warga, Women & Gender
Nyaya Health: Mass community health teaching. Street theater on menstrual hygiene and the practice of Chhaupadi. Image from Flickr by Possible. CC By 2.0 [1]

Nyaya Health: Penyuluhan Kesehatan Kelompok Masyarakat – teater jalanan tentang kebersihan selama menstruasi dan praktik chhaupadi. Image from Flickr by Possible. CC By 2.0

Ketika Nepal sudah mulai membuat kemajuan dalam meningkatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan berdasarkan acuan United Nations Development Programme [2], berita tentang “Chhaupadi” yang kembali menyeruak di media massa serasa bertolak belakang dengan pencapaian negara tersebut.

Baru-baru ini, Setopati [3], sebuah situs portal terkenal, dengan bangga menerbitkan laporan tentang sebuah desa bebas chhaupadi di distrik Jumla.

Sekarang tidak akan ada lagi chhaupadi di Dhimkot.

Jadi, apa sebenarnya “chhaupadi” itu?

Di wilayah ujung barat dan tengah barat Nepal, demi mengikuti tradisi yang sudah ada selama ratusan tahun [8], gadis-gadis dan para wanita yang sedang menstruasi dikucilkan, dipaksa untuk tinggal di luar rumah dalam kandang sapi atau gubuk-gubuk kecil supaya anggota keluarga mereka tidak “tercemar”.

Razen Manandhar, mantan wartawan harian The Himalayan Times, menulis tentang chhaupadi dalam blog [9]-nya:

[…] They strongly believe that women become impure during those 4/5 days every month and their gods – “Mate”, as they call him – don't like to see women coming to them at this period of time. So, the men force women in their periods to confine themselves in small, narrow huts/sheds without any window or door. […]

[…] Men believe that if women in periods remain in their houses, tigers would come attack them or their cattle. Or the god will be angry at them and they will fall sick. They care more of the invisible god than their own family members. […]

[…] Mereka sangat percaya bahwa para wanita menjadi kotor selama masa 4-5 hari setiap bulannya tersebut dan dewa-dewa mereka – “Mate”, begitu mereka menyebutnya – tidak suka melihat para wanita itu mendatanginya pada masa-masa tersebut. Sehingga, para pria memaksa para wanita untuk tetap berdiam selama masa haid di gubuk/kandang kecil, sempit tanpa adanya jendela atau pintu. […]

[…] Para pria percaya jika para wanita yang sedang haid tetap tinggal dalam rumahnya, harimau-harimau akan datang menyerang mereka atau ternak yang mereka miliki. Atau nantinya dewa akan marah dan mereka pun jatuh sakit. Mereka lebih peduli pada dewa yang tidak terlihat ketimbang anggota keluarganya sendiri. […]

Cecile Shrestha, associate director dari program pengembangan akses air nonprofit WaterAid Amerika, memaparkan tentang tradisi tersebut melalui serangkaian twit-nya:

Inilah salah satu contoh “kemuraman” pada sebuah gubuk, di #Nepal [10] Barat tempat bermalam para gadis yang sedang haid. Terbuka dan tidak terlindung. #MHM [11] pic.twitter.com/GFETYKrckk [12]

Enam gadis rencananya akan tidur di gubuk belakang di malam kami bertemu. “Kami mengkhawatirkan ular dan cuaca.” #MHM [11] pic.twitter.com/TU3bsgHh9r [14]

 

Kamala, 14 tahun. Di belakangnya adalah gubuk tempat dia tidur selama masa haid, sejak berumur 11 tahun. Baik saat hujan maupun cerah. #MHM [11] pic.twitter.com/Gyp0M5tKrC [16]

“Aku berkata pada mereka kalau praktek ini sudah ketinggalan zaman, tapi mereka marah-marah.” Anjana, 16 tahun, saat sedang tidur di luar selama masa haid.#MHM [11] pic.twitter.com/Mxj7wr78Oy [18]

Wanita tiga generasi. “Itu akan membuat marah para dewa.” Mengapa para wanita dilarang memasuki rumah saat menstruasi. pic.twitter.com/WTdwKQRhwP [20]

Tradisi tersebut juga tidak memperbolehkan para gadis menyentuh buku atau pergi ke sekolah dan mereka pun tidak boleh membawa pakaian hangat atau selimut ke dalam gubuk. Selalu ada ketakutan akan munculnya hewan liar atau ular, tidak menutup kemungkinan munculnya para pria asusila.

Mereka juga tidak diperbolehkan makan makanan bergizi [22] dan susu, takut kalau nantinya para hewan jatuh sakit atau berhenti mengeluarkan susu.

Tradisi ini diikuti sebagian besar wilayah perbukitan di bagian barat Doti, Dadeldhura, Achham, Bajhang, Bajura, Darchula, Baitadi, Jumla, Huma, Mugu, Dolpa, Kalikot, Dailekh dan Jajarkot, seperti yang diberitakan dalam harian Rajdhani [23].

Meski Pengadilan Tinggi Nepal telah melarang chhaupadi [8] pada tahun 2005, namun tradisi tersebut masih kuat mengakar di beberapa desa perbukitan yang terpencil.

Para pemimpin dan aktivis wanita pun tak luput dari paksaan untuk mengikuti tradisi tersebut. The Himalayan Times [24] mengutip Binita BK, bendahara Partai Komunis Persatuan Nepal-Maoist distrik Bajura:

It is obvious that it is a widespread social evil. It is an outcome of conservative mindset. But what to do, we don’t have any other option but to stay separately, away from our house during our periods, when we are in the village.

Sudah jelas bahwa tradisi ini merupakan kejahatan yang telah menyebar luas dalam masyarakat. Tradisi ini terlahir dari pola pikir yang konservatif. Tapi mau bagaimana lagi, ketika kita di desa, kita tidak punya pilihan lain selain tinggal terpisah, jauh dari rumah selama masa haid.

Meski beberapa chhau (gubuk) telah dirobohkan setelah adanya kampanye kesadaran yang dipimpin oleh organisasi-organisasi non-pemerintah bekerja sama dengan lembaga pemerintah, namun di beberapa tempat mereka kembali mendirikan gubuk-gubuk tersebut demi melestarikan tradisi [25].

Bagaimanapun juga, para wanita dan gadis-gadis muda kini mulai melawan tradisi yang menjadikan mereka orang buangan selama beberapa hari dalam satu bulan. Berkat kesadaran yang diusung oleh organisasi-organisasi non-pemerintah dan badan-badan pemerintah yang peduli, gubuk-gubuk tersebut akhirnya dihancurkan [26] dan desa-desa bebas-chhaupadi [27] pun semakin bertambah.