
Para tetua Lumad membentangkan spanduk menyerukan perlindungan komunitas mereka saat berbaris menuju Manila. Foto dari laman Facebook dari ST Exposure
Lebih dari 700 orang Lumad (masyarakat adat asal pulau Mindanao, Filipina selatan) berjalan kaki ribuan kilometer dan mendirikan kamp protes di ibukota negara Manila pada Oktober 2015 untuk menuntut penarikan tentara dan pasukan paramiliter dari kawasan komunitas mereka.
Dinamakan sebagai Manilakbayan 2015, kafilah rakyat itu juga mencari dukungan publik guna mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia yang diperbuat oleh aparat negara terhadap Lumad.
Kesaksian dari beberapa orang Lumad disebarkan di Facebook oleh kelompok multimedia Southern Tagalog Exposure.
Tagar #StopLumadKillings terus menjadi tren di Filipina setelah pembunuhan mengerikan terhadap kepala sekolah komunitas Lumad Emerito Samarca dan dua tetua adat Dionel Campos dan Bello Sinzo, 1 September 2015 lalu.
Kedua insiden itu menjadi kasus berprofil paling tinggi yang diklaim kalangan aktivis sebagai kampanye sistematis berupa penindasan terhadap masyarakat adat di Mindanao, termasuk melakukan pembunuhan atas para pemimpin adat Lumad, penutupan sekolah-sekolah pribumi, dan pendudukan militer atas perkampungan mereka.
Paguyuban Lumad menjelaskan bahwa mereka sedang menjadi target dari perintah (bos) pertambangan skala besar, perkebunan, dan perusahaan lain yang tergiur pada wilayah Lumad yang kaya sumber daya.
Angkatan bersenjata Filipina juga dituduh telah mempersenjatai dan melatih orang-orang Lumad menjadi paramiliter untuk melawan sanak-kerabat mereka sendiri. Militerisasi masyarakat adat telah menyebabkan evakuasi besar-besaran ribuan pribumi Lumad di Mindanao.
Laporan ringkas dikumpulkan oleh Southern Tagalog Exposure menghadirkan saksi mengenai militerisasi yang intens di kalangan masyarakat adat dan penjarahan tanah nenek-moyang mereka.

“Tanah leluhur ini sedang dirampas dari kami. Kami ingin mengusir tentara pergi dan membubarkan kelompok paramiliter yang memecah-belah kami sesama Lumad. Kami ingin hidup damai.” Bai Bibiaon Ligkaian Bigkal, pejuang perempuan dari Tala-ingod, Davao del Norte
!["Tentara membantai suku kami. Pemerintah dan perusahaan memprioritaskan kepentingan pribadi, bukan kepentingan rakyat. Masyarakat jadi tidak penting bagi mereka. Ketika kami mempertahankan tanah leluhur dan budaya, mereka menuduh kami sebagai bagian dari [kelompok pemberontak] Tentara Rakyat Baru untuk membenarkan penculikan atau pembunuhan." Kaylo, Manobo dari Talaingod, Davao del Norte](https://globalvoices.org/wp-content/uploads/2015/11/002-800x533.jpg)
“Tentara membantai suku kami. Pemerintah dan perusahaan memprioritaskan kepentingan pribadi, bukan kepentingan rakyat. Masyarakat jadi tidak penting bagi mereka. Ketika kami mempertahankan tanah leluhur dan budaya, mereka menuduh kami sebagai bagian dari [kelompok pemberontak] Tentara Rakyat Baru untuk membenarkan penculikan atau pembunuhan.” Kaylo, Manobo dari Talaingod, Davao del Norte

“Karena represi tentara, kami terpaksa mengungsi dan meninggalkan tanah kami. Susah mengungsi ini, kepanasan dan tidak ada air. Kami ingin kembali ke tanah kami. Aku bersumpah kepada diri sendiri sebagai Lumad sejak kecil untuk melanjutkan perjuangan kami sampai aku mati.” Kristina Lantao, asal Mindanao Selatan

“Tentara Filipina menghancurkan sekolah kami. Mereka bahkan membakar koperasi pertanian kami. Saya pernah dipenjarakan dan sekarang menghadapi tuduhan palsu mengenai penculikan. Kami kehilangan tanah air kami. Di mana pun kami pergi, kami merindukan kampung kami. Ini adalah soal di mana kami hidup dan dibesarkan. Jika itu dicerabut dari kami, budaya kami akan mati sebelum generasi berikutnya.” Datu Isidro, Kitaotao, Bukidnon

“Helikopter tentara mendarat di kampung kami. Mereka membakar rumah kami. Hanya pakaian di badan ini harta kami yang selamat. Kata tentara, orang Lumad tidak mau belajar. Saat aku besar, aku ingin jadi guru untuk membuktikan mereka salah.” Kimkim Baliti, 13 tahun, Manobo, Talaingod, Davao del Norte
!["Kami takkan mati di hutan, melainkan akan mati karena tambang terbuka. Kami harus menjadi warga yang mendapat manfaat dari kekayaan Mindanao. Para prajurit mengatakan kami [kelompok pemberontak] Tentara Rakyat Baru untuk membenarkan pengusiran dan pembunuhan ini. Mereka semestinya menjadi orang-orang yang harus pergi karena mereka adalah orang luar di tanah leluhur kami." Jean Derong, Manobo, Kota Davao](https://globalvoices.org/wp-content/uploads/2015/11/007-800x533.jpg)
“Kami takkan mati di hutan, melainkan akan mati karena tambang terbuka. Kami harus menjadi warga yang mendapat manfaat dari kekayaan Mindanao. Para prajurit mengatakan kami [kelompok pemberontak] Tentara Rakyat Baru untuk membenarkan pengusiran dan pembunuhan ini. Mereka semestinya menjadi orang-orang yang harus pergi karena mereka adalah orang luar di tanah leluhur kami.” Jean Derong, Manobo, Kota Davao