Seperti apa rasanya menjadi gay di Karibia? The Travelling Trini kadang menerima surel dari gay muda Trinidad yang “memiliki hasrat kuat untuk pergi ke luar negeri, berpergian, dan melihat dunia”. Dia menyimpulkan bahwa hasrat berkelana ini tumbuh dari kenyataan bahwa “Karibia merupakan tempat dengan homofobia luar biasa dan budaya macho yang kuat; untuk mengaku gay adalah sesuatu yang luar biasa sukar, bahkan berbahaya, untuk dilakukan.”
Tulisan tersebut berlanjut dengan memuat daftar lagu-lagu yang mempromosikan homofobia dan kekerasan terhadap kaum gay kembali ke era 90-an: Boom Bye Bye oleh Buju Banton yang secara tidak mengejutkan dulu berada di peringkatteratas, tetapi blogger tersebut menggambarkan (syair lagu) ini sebagai “kelam, kejam dan sungguh menjijikkan.” Dia bertanya:
Mengapa lagu tersebut tidak dianggap sebagai pidato penyebar kebencian? Mengapa (sekarang) stasiun-stasiun radio diperbolehkan untuk memutarnya? […] Pertanyaannya adalah, mengapa tidak apa-apa untuk masih menjadi anti-gay lalim di tahun 2015?
Dia menghubungkan realitas terbatas ini dengan hasrat yang dimiliki oleh banyak warga gay Karibia untuk bermigrasi dan memberikan kesaksian bahwa Timur Jauh, dimana ia tinggal sekarang, “sungguh tempat yang amat bersahabat bagi kaum gay”.
Ada kehidupan gay yang berkembang pesat di setiap negara, dari Timur Jauh yang liberal sampai ke Timur Tengah yang konservatif, dan semua tempat di antaranya.
Seluruh dunia tidaklah terus legat. Tidak pernah, dan tidak akan. […]
Sayangnya gaya hidup liberal tersebut tidak ditolerasi oleh Karibia, dan pada kenyataannya masih dikriminalisasi secara hukum. Tidak terdapat perlindungan legal bagi warga LGBT […] seperti halnya orang berjuang demi kesetaraan hak berdasarkan ras, dan kesetaraan hak berdasarkan jenis kelamin, langkah berikutnya dalam evolusi kita sebagai manusia adalah kesetaraan hak bagi semua orang tanpa melihat preferensi seksual mereka.