Sangatlah sulit bagi warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza untuk masuk ke Israel, dengan alasan politik. Hal ini juga dirasa sulit oleh bangsa Arab lainnya karena Israel tidak diakui keberadaannya oleh sebagian besar negara Arab. Sementara di saat yang bersamaan segelintir warga Palestina yang merupakan penduduk Israel (sekitar 20% dari populasi) juga tidak bisa bepergian ke beberapa negara Arab karena mereka memiliki paspor Israel.
Rasha Hilwi, seorang Palestina penduduk Israel menggambarkan bagaimana larangan ini mempengaruhinya — bahkan setelah dia nanti meninggal.
Pada sebuah posting di blognya, Zaghroda (yang berarti Ulutation) [catatan terjemahan: Ulutation, tradisi tarik suara yang populer di Timur Tengah], Rasha menulis [ar]:
Tiba-tiba kau merasakan kematian sudah melayang-layang di udara, meski tidak begitu dirasakan. Bukan hanya kematian, tapi juga “penyakit itu”, kamu tahu. (Temanku bahkan menyebut bintangnya dengan “pertanda itu”). Maksudnya kanker. Dan kapanpun kematian itu datang, aku selalu bertanya sendiri “Kenapa harus kaget?” Lalu aku memulai hari baru, untuk beberapa hari.
Lagi pula, itu tidak penting..
Beberapa waktu lalu aku ingin menuliskan wasiatku. Ngomong-ngomong aku tidak bermaksud pesimis. Kematian itu sesuatu yang alami. Setidaknya aku percaya itu. Dan karena ia alami, aku menuliskannya. Seperti kata nenekku, atau nenekmu, ” Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi besok.”
Dia melanjutkan,
لن أطيل الحديث عليكم. لكن لدي بعض الأسئلة المتعلقة بالموت وطقوسه. يعني، عندما أذهب غداً إلى المكان البعيد. الذي لا يعرفه أحد، من الطبيعي أن تقام جنازتي في عكّا- لا بيت لي سواها- هكذا يقول لي أبي. وبالتأكيد سوف أدفن فيها. صحّ؟
لكن، تقتلني فكرة أن أموت ولا زال الاحتلال قاعد على قلبي! كيف سيصل أصدقائي وصديقاتي من رام الله والقاهرة ودمشق وبيروت وعمان وتونس والمغرب وصنعاء وبغداد وطرابلس لوداعي الأخير؟
Aku tidak akan membuat cerita ini panjang untukmu. Aku punya beberapa pertanyaan tentang kematian dan ritualnya. Jika esok aku pergi untuk hal yang tidak diketahui itu, tempat yang jauh, pemakamanku tentu akan diadakan di Akka- aku tidak punya rumah- begitu juga kata Ayahku. Aku pasti hanya akan dikremasi disini. Betul?
Tapi hal yang menyakitkanku adalah aku akan mati dan penjajahan (Israel) akan tetap menduduki batinku. Bagaimana mungkin teman-temanku dari Ramallah, Kairo, Damaskus, Beirut, Amman, Tunisia, Maroko, Sana'a, Baghdad dan Tripoli bisa datang untuk mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya.
Dalam hati Rasha bertanya,
لكن ماذا عن أحبائي في القاهرة وبيروت وعمان؟
يعني، هل ممكن.. مثلاً.. مثلاً.. إن تكون وصيتي بحرق جثتي وإرسال القليل من الرماد إلى أصدقائي هُناك؟ وتنظيم أمسية موسيقية وأدبية بدلاً عن الجنازة التقليدية؟ طيب، هل ممكن أن تكون جنازتي عبر “الفيديو كونفرنس”؟ أو حتى “السكايب”؟ ماله السكايب؟ على الأقل مجاني. هكذا يكون بث مباشر لجنازتي من عكّا إلى بيروت والقاهرة وعمان وتونس ورام الله وغزة!أو لشو كلّ هالتعقيد؟ ممكن أن تكون وصيتي أن يحملوا تابوتي إليهم؟ أعتقد أن تصريح عبور لشخص ميت سوف يكون أسهل. والأهم، إنه لا يحتاج إلى فيزا. هكذا سيكون بمقدوري أن أرى بيروت. مين بعرف؟ ممكن أكون قادرة أشوفها وقتها.
Tapi bagaimana dengan teman-teman dekatku di Kairo, Beirut dan Amman?Atau mungkin—misalnya – aku mau jasadku harus dikremasi dan sedikit dari abuku dikirim ke teman-temanku di tempat-tempat itu? Iringan musik dan pertemuan kecil harus diadakan, daripada sebuah pemakaman lazim. Atau mungkin tidak jika pemakamanku ditayangkan melalui konferensi video? Melalui Skype? Memang kenapa dengan Skype? Setidaknya mereka gratis kok. Dengan begitu pemakamanku bisa ditayangkan secara langsung dari Akka ke Beirut, Kairo, Amman, Tunis, Ramallah dan Gaza!
Tapi kenapa begitu rumit? Aku mungkin bisa tuliskan di wasiatku supaya petiku harus dibawa oleh mereka. Aku rasa izinnya akan jauh lebih mudah kalau orang mati melewati perbatasan (daripada mereka yang masih hidup). Lagi pula, itu tidak memerlukan visa. Dengan itu aku bisa melihat Beirut. Siapa tahu? Mungkin aku bisa ke sana.