- Global Voices dalam bahasa Indonesia - https://id.globalvoices.org -

Angola: Tingginya Biaya Hidup di Luanda

Kategori: Afrika Sub-Sahara, Angola, Ekonomi & Bisnis

Ibu kota Angola, Luanda, adalah kota dengan biaya hidup yang amat tinggi. Baik bagi para penduduk Angola maupun para turis. Jika kalian di sini, maka kalian menyadarinya. Layanan dasar, seperti makanan, pendidikan dan tempat tinggal semahal harga di kota-kota di Eropa. Bedaannya, gaji di Angola tak ubahnya bahan tertawaan jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa, intinya  untuk memenuhi kebutuhan dasar merupakan perjuangan sehari-hari.

Sudah jelas perjuangan ibukanlah sesuatu yang dikhawatirkan oleh mereka yang kaya yang, untuk alasan yang jelas atau tidak, aman berkat rekening-rekening bank yang dapat membuat manusia biasa iri. Menurut survei yang diselenggarakann selama bulan Februari oleh sebuah perusahaan Inggris, ECA International  – Luanda berada di peringkat pertama kota dengan biaya hidup tertinggi di dunia [1].

Dalam blognya Mundo da Verdade [2] [pt], Miguel Caxias menulis:

“Só para terem uma ideia, o custo por noite no hotel em que estou é de 170 USD (quarto individual, com casa de banho e pequeno-almoço mesmo muito sofrível). Estamos a falar de um hotel que deve ter se tanto, duas estrelas. Para um europeu, não só por costumes alimentícios mas também por costumes de segurança, não se arrisca a comer em qualquer botequim de esquina, obviamente. No restaurante onde temos feito as nossas refeições, o custo médio de uma dose é de 30USD (junte-se a isso bebida, sobremesa, entradas e o preço salta logo para 40/45 USD de despesa individual).

Luanda está numa fase de construção massiva. Junto à Marginal existem apartamentos a 1 milhão de USD. Estão todos vendidos!!!”

“Sebagai ilustrasi bagi kalian, harga kamar di hotel tempat saya bermalam adalah 170 $ AS (kamar single dengan kamar mandi, ditambah sarapan yang kurang beragam). Yang kami maksud adalah sebuah hotel bintang dua terbaik di kota. Bagi penduduk Eropa, bukan hanya karena kebiasaan hidangan/makanan, namun juga karena alasan keamanan, kami tidak mengambil resiko makan di restoran umum, tentunya.  Di restoran yang kami kunjungi, harga rata-rata makanan adalah AS$ 30 (jika ditambah minuman, hidangan penutup dan pembuka maka dengan cepat biaya membengkak menjadi AS$ 40/45 per kepala). Luanda sedang dalam tahap pembangunan besar-besaran. Di dekat Marginal [wilayah teluk kota], beberapa apartemen dihargakan satu juta dolar. Dan semuanya laris terjual!!!”

Biaya hidup yang tinggi di negara ini merupakan suatu paradoks, karena tidak disertai jaminan kualitas hidup yang tinggi, setidaknya bagi mereka yang terpuruk secara ekonomi. Angola termasuk negara yang berkembang pesat, namun yang patut disayangkan perkembangan tidak lantas terlihat pada sikon pemasukan sebagian besar penduduk Angola. Permintaan yang terlalu besar dan persediaan yang terlalu sedikit membuat segala sesuatu sulit.

Penulis asal Brazil dari blog Diário de África [3] [pt] menyediakan analisa singkat mengenai apa yang terjadi di Angola.

“Não são apenas os alugueres (habitação) que custam caro. Tudo é caríssimo. Um quilo de tomate pode sair por 20 USD. Uma bandeja de uvas pode custar 30 USD o quilo. Um bife com batatas fritas pode custar facilmente, 50 dólares. Um cano furado pode sair por 1000.000 USD. Tapar um pequeno furo na tubulação do ar-condicionado do carro e colocar o gás para enfrentarmos o calor luandense custa 200 USD.

Precisa de electricista? Ele não vai sair da sua casa sem ter tirado pelo menos 100 USD de você. Mesmo que só tenha trocado uma lâmpada. Porque é tudo tão caro?”

“Bukan hanya harga sewa (rumah) yang mahal. Semuanya sangat mahal. Satu kilo tomat saja bisa mencapai AS$ 20. Serenceng anggur bisa mencapai harga AS$ 30 per kilo. Seporsi bistik disertai kentang goreng dengan mudah mencapai harga AS$ 50. Membetulkan satu pipa bisa menguras kantong kita hingga AS$ 1.000. Menyolder sebuah lubang kecil di pipa AC mobil dan membetulkannya demi mengatasi panasnya udara Luanda bisa menguras kantong sampai AS$ 200. Butuh tukang listrik? Ia tidak akan meninggalkan rumahnya sampai setidaknya kita membayar AS$ 100. Bahkan jika hanya untuk mengganti bola lampu. Mengapa semuanya begitu mahal?”

Menurut narablog berikut, jawabannya mudah dan, sekali lagi, mengingatkan kita kepada perang yang telah merampas lebih dari 30 tahun masa pembangunan negara ini.

“O atabalhoado processo de independência e a guerra acabaram com tudo. Primeiro, a independência. Em 1975, pelo menos 300 mil portugueses abandonaram Angola. Médicos, dentistas, advogados, empresários, encanadores, mecânicos, burocratas, professores. Em questão de meses, Angola ficou sem quadros. Não havia quem soubesse gerenciar as finanças do país. Depois a guerra. O esforço de guerra sugou o dinheiro que deveria ser investido na saúde, na educação, nas infra-estruturas do país. Agora multiplique essa situação por 30 anos. O resultado chama-se Luanda.

Com a alta no preço do petróleo nos últimos anos, os fretes subiram e por tabela, o de todos os produtos. Chegou-se a uma situação tal que mesmo os itens produzidos em Angola podem custar mais que os importados. Porquê? Os economistas que me corrijam, mas parece ter algo a ver com a tal lei da oferta e da procura. Quem quer agora, tem de pagar mais.”

O país não tem indústrias. Tudo é importado. Vem de navio. No porto, não há espaço. Os navios ficam dois, três meses atracados em alto-mar, aguardando autorização para descarregar. Só agora é que a agricultura começa a dar os primeiros passos. Mas só nas áreas em que não há minas terrestres. O último número que ouvi era de que mais da metade das terras cultiváveis do país estava cheia de minas. Enquanto o terreno não estiver limpo, nada feito. Portanto, até a comida precisar ser importada.

“Perjuangan yang susah payah menuju kemerdekaan diikuti dengan peperangan berdampak pada seluruh bidang. Pertama, kemerdekaan. Pada 1975, setidaknya 300.000 warga Portugis meninggalkan Angola. Dokter, dokter gigi, pengacara, wirausahawan, mekanik, tukang pipa, pegawai negeri sipil, guru. Dalam beberapa bulan tanpa arah, Angola tidak memiliki SDM yang berkualitas. Tidak ada yang tahu bagaimana mengelola keuangan negara. Kedua, peperangan. Usaha memenangi perang menyedot seluruh uang yang seharusnya diinvestasikan untuk kesehatan, pendidikan dan infrastruktur negara. 30 tahun kemudian, jadilah Luanda. Dengan harga gas yang mahal beberapa tahun ini, biaya transportasi juga meningkat dan, secara serentak, begitu juga harga seluruh barang. Situasi menjadi kian parah sampai-sampai barang produksi dagri Angola pun menjadi lebih mahal daripada produk impor. Mengapa? Para ekonom, tolong betulkan jika saya salah, tapi ini berkaitan dengan hukum persediaan dan permintaan. Jika kalian ingin (barang) sekarang, kalian harus membayar lebih.”

Negara ini tidak mempunyai industri. Semuanya hasil impor. Semuanya dikirim melalui kapal laut, dan tidak ada tempat di pelabuhan. Kapal-kapal berlabuh dua sampai tiga bulan di laut lepas, menunggu persetujuan pihak berwenang untuk dapat membongkar muat barang-barang mereka. Baru sekarang bidang agrikultur mengambil langkah pertama, namun hanya  di wilayah yang tidak ada ranjau. Statistik terakhir yang saya dengar adalah sebagian tanah yang subuh penuh dengan ranjau. Selama tanah pijakan belum bersih dari ranjauh, tidak banyak yang bisa dilakukan. Oleh sebab itu, makanan pun harus diimpor.

Seekor kambing mencapai harga 600 KZ (AS$ 7). Tweetpic oleh @bethinagava

Terjemahan Portugis<>Inggris oleh Melissa Mann [4]