- Global Voices dalam bahasa Indonesia - https://id.globalvoices.org -

Pakistan: Gencatan Senjata Taliban

Kategori: Pakistan, Hukum, Pemerintahan, Perang & Konflik, Warta Semerta, Women & Gender

Perang saudara sedang berlangsung di  Lembah Swat [1] di propinsi yang terletak di Barat Laut Pakistan selama lebih dari 6 bulan antara angkatan bersenjata Pakistan dengan kelompok-kelompok pro-Taliban di daerah tersebut. Ratusan jiwa melayang dan ribuan warga terpaksa mengungsi karena perang yang terus berlangsung.  Para kelompok radikal menutup paksa sekolah-sekolah putri, dan melarang perempuan berada di pasar-pasar, memutuskan saluran kabel, dll. dengan alasan bahwa semua itu tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Beberapa hari lalu, pemerintah Pakistan menyetujui perjanjian gencatan senjata [2] dengan Maulana Sufi Mohammed dari kelompok Tehreek-e-Nafaz-e-Shariat-e-Mohammadi [3] (yang  berarti Gerakan Penegakan Syariah Islam) menandai penegakan hukum syariah Nizam-e-Adl di daerah Malakand,  Perbatasan Barat Laut Propinsi  (atau NWFP: North West Frontier Province). Kelompok pro-Taliban di Lembah Swat mengumumkan [4] adanya 10 hari gencatan senjata setelah negosiasi dengan pemerintah NWFP berjalan dan perjanjian nyaris disetujui.

Chowrangi menulis posting berjudul “Mengapa Pemberlakuan Kembali hukum Syariah Bukanlah Tanda Kemenangan Taliban [5]“:

Saat wilayah Malakand dan Swat merayakannya, media barat mengaku khawatir dengan adanya penegakkan hukum Islam di daerah tersebut, menganggap bahwa hal ini merupakan kemenangan bagi Taliban dan kekalahan pemerintah Pakistan.

Untuk mengkoreksi kesalahpahaman ini, kira harus melihat kembali awal kisah permintaan penegakan hukum Syariah. Pada tahun 1969, negara bagian Swat, Dir dan Chitral resmi bergabung dengan Pakistan, dengan bergabung menjadi wilayah yang dinamakan Malakand, dengan Saidu Sharif (yang terletak di Lembah Swat) sebagai ibukotanya. Menurut sejarah, warga pribumi menuruti sistem peradilan kesukuan, yang saat itu lebih dikenal dengan sebagai Rewaj (Hukum Kebiasaan), yang kemudian lebih populer dengan nama Syariah.

Setelah menjadi bagian dari negara Pakistan, warga Malakand diharuskan mematuhi sistem hukum negara yang pada dasarnya merupakan sistem hukum Inggris Raya yang diwarnai dengan prosedur berbelit yang notabene lamban, mahal, dan korup. Tak lama kemudian, mereka mulai menuntut untuk kembali ke sistem hukum lama yang independen. Pemerintah Pakistan menolak.

Ketidak puasan warga pribumi, melahirkan pemberontakan TSNM oleh Maulana Sufi Mohammad pada tahun 1994. Selanjutnya menantu laki-lakinya yang bernama Maulana Fazlullah memisahkan diri dari organisasi TSNM dan memulai aktivitas miltan. [..]

Sejak awal, para pemimpin ANP bertindak secara diplomatis dan cendekia, ditandai dengan langkah pertama mereka yaitu membebaskan Sufi Mohammad dan memperjuangakan elemen moderat di wilayah tersebut.  Kini, dengan menerima permintaan warga setempat, mereka memiliki kekuatan untuk mengisolasi elemen Taliban di Malakand, yang memang telah kehilangan banyak dukungan.

Dengan harapan, damai akan kembali di Lembah Swat lagi.

Manan Ahmed bloger Chapati Mystery mengatakan [6] bahwa hal ini bukanlah hal baru, karena perjanjian-perjanjian serupa telah muncul sebelumnya:

Sejarah mencatat – 1994, 1999, 2007 – usaha untuk menegakkan Shari-Nizam-e-Adl (Perintah Keadilan Islami) di wilayah Swat. Kamu dapat melihat posting lamaku yang berjudul ‘Akond of Swat’ [7] untuk lebih memahami sejarah peristiwa ini.

Sultan-i-Rome menggambarkan situasi Swat sebenarnya dalam laporan [8] yang diterbitkan oleh Institut untuk Perdamaian dan Studi mengenai Konflik:

Swat berada di persimpangan.  Jika kedua belah pihak terus bersikap keras kepala dan menolak untuk mengubah pemahaman dan tindakan pencegahan mereka, maka dapat kita perkirakan kegagalan lebih lanjut bagi Swat dan penduduknya… Jika negosiasi gagal menemukan jawaban bagi isu yang berlangsung di sana, maka nasib Swat akan menjadi lebih tragis dari Irak.

Jauhar Ismail bloger All Things Pakistan tidak yakin bila perjanjian Swat merupakan langkah baik atau buruk [9]:

Menurutku, kali ini iblis telah memahami betul isi dan wujud pelaksanaan perjanjian ini. Aku memiliki perasaan yang campur-aduk mengenai perjanjian ini: It is hard to see how the situation in Swat can be controlled only through the military means; there has to be a political dimension.Sulit mengatasi situasi di Swat hanya dengan menggunakan kekuatan militer tanpa ada bobot politik.

The Acorn mengomentari [10] penyerahan diri Swat:

Usaha untuk menjelaskan penyerahan diri hanyalah sebuah taktik pemerintah adalah bualan– kecuali apabila angkatan bersenjata Pakistan sedang dalam proses transformasi radikal, sangat mustahil bagi pemerintah untuk memperoleh kembali daerah yang telah lepas dari tangan.

CHUP – Changing up Pakistan merangkum [11] beberapa reaksi atas perjanjian ini.

Blog ini juga menyoroti opini [12] Ahsan Mirza, pelajar yang tinggal di Toronto, yang membidik elemen humanis pada konflik ini:

Gencatan senjata ini merupakan aksi putus asa dari pemerintah Pakistan guna mengembalikan perdamaian di Lembah Swat.

Januari lalu, jaringan televisi BBC News menyiarkan “Diary of a Pakistani Schoolgirl [13]”  yang menceritakan tentang diari seorang anak perempuan kelas 1 SMP yang menulis renungan menyusul peristiwa moratorium pendidikan anak-anak perempuan di lembah yang dikuasai Taliban tersebut. Siapapun yang membaca catatan diari tersebut akan menitikkan ait mata.Apa yang akan terjadi pada sekolah-sekolah putri ini dibawah peraturan baru?  Bagiku, penutupan sekolah-sekolah ini hanyalah gejala dari apa yang akan terjadi saat rezim ekstrimis berkuasa.

Yasser Latif Hamdani bloger Pak Tea House menulis [14]:

Pemaksaan untuk menegakkan hukum Islam yang selektif nan retrogresif, serta mengakuinya sebagai sistem hukum  yang sah di wilayah manapun di negara ini merupakan pelanggaran terhadap landasan negara Pakistan, yang didirikan oleh para pendiri bangsa yang bertekad menciptakan negara modern dan bijaksana. Hal ini merupakan tanda pemecahan diri dari paham Islam liberal yang menjadi landasan negara Pakistan. Modernitas dan pemberdayaan perempuan merupakan asas pembangunan negara Pakistan.

Faisal K. pada Deadpan Thoughts berpendapat bahwa [15] perdamaian telah dibayar dengan amat mahal:

Singkatnya, pemerintah Pakistan telah menyerahkan Lembah Swat pada gerombolan serigala, para politisi kita yang terhormat lebih dari senang  berceloteh tentang aksi penyelamatan dan bukan, berceloteh tentang keberhasilan-keberhasilan semu tanpa tujuan nyata.

Pada perkembangan terakhir,  CHUP -Changing Up Pakistan melaporkan [16] bahwa reporter GEO News, Mosa Khankhel, tewas dibunuh di Kota Matta, Lembah Swat hari ini setelah dia melaporkan parade damai yang dipimpin oleh pemuka TNSM Maulana Sufi Mohammed. Berikut komentar dalam blognya:

Pembunuhan keji wartawan GEO Mosa Khankel hari ini merupakan indikasi berbahaya yang menunjukkan bahwa perjanjian damai tidak akan mampu mengakhiri tindak kekerasan di Lembah Swat.