- Global Voices dalam bahasa Indonesia - https://id.globalvoices.org -

Brunei: Sindrom Ali Baba

Kategori: Asia Timur, Brunei, Buruh, Ekonomi & Bisnis, Seni Budaya

Bisnis selalu bermunculan di berbagai sudut Brunei. Tiba-tiba saja, muncul rumah makan baru, usaha penganan ringan, penyanyi baru, juga pusat pertokoan, contohnya. Sebagai tambahan, sebagian besar usaha ini dimiliki oleh pengusaha Melayu Brunei – etnis dominan di negeri tersebut. Ini membuktikan bahwa etnis Melayu tidak mengalami kekurangan sumber daya dana untuk memulai usaha mereka, maupun kemampuan untuk menjadi pengusaha. Amat disayangkan, meski dengan adanya peningkatan drastis usaha dalam negeri yang dimulai oleh etnis Melayu, sebagian besar bisnis tersebut tidak dijalankan oleh pemiliknya. Rouge economist [1] menyebut hal ini sebagai sindrom ‘Ali Baba':

“Mari kita lihat sindrom ‘Ali Baba’ pada sektor usaha, misalnya. Kita ingin menjadi kaya dengan cepat dan mudah. Alih-alih menjalankan usaha dengan benar, kita menjual atau menyewakan izin yang kita miliki kepada warga asing. Alhasil, jumlah etnis Melayu Brunei yang berhasil menjadi pengusaha yang patut dibanggakan berjumlah kurang dari 10 jemari tangan kita, dibandingkan dengan jumlah usaha-usaha kecil yang ada (terutama ‘kedai runcit‘, tempat cukur rambut, dan tempat penjahitan pakaian). [‘kedai runcit’ berarti toko kelontong atau warung dalam Bahasa Indonesia]

Kedai runcti - convenience store

Photo by Anak Brunei [2]

Pemerintah Brunei kini dengan aktif memberikan insentif guna menganekaragamkan ekonomi negara, dan mengembangkan aset sumber daya manusia (SDM). Namun insentif, rencana maupun ide tidak akan maju apabila aset SDM gagal menunjukkan kemajuan. Mungkin salah satu penyebab terhambatnya kemajuan perekonomian Brunei adalah kebudayaan Brunei itu sendiri. Rouge economist [1] memberikan salah satu contoh mental bekerja para etnis Melayu Brunei di tempat kerja mereka:

“Contoh lain mengacu pada mental bekerja para etnis Melayu Brunei. Rutinitas ‘lima kali rehat sehari’ membudaya di sektor pemerintahan. Sikap ‘karang tah’ [terjemahan: “Nanti saja”, atau “Saya kerjakan nanti.”] telah merugikan pemerintah jutaan dolar dalam produktivitas bahkan dalam hal peningkatan pendapatan. Alhasil, sektor pemerintahan, dimana etnis Melayu Brunei diprioritaskan, bekerja dengan lambat, tidak efisien dan amat berkelit hingga untuk mengirimkan surat dalam wilayah kecil sekalipun bisa memakan waktu berminggu-minggu, dan untuk mendaftarkan sesuatu bisa memakan waktu berbulan-bulan. (Yang benar saja! Memang berapa jumlah populasi kita?)”

Oleh sebab itu, penting bagi Brunei untuk fokus dalam menciptakan lingkungan efektif yang mampu menyokong produktivitas para etnis Melayu dan sumber daya manusia Brunei pada umumnya. Sebab, kemajuan hanya akan menjadi mimpi di siang bolong apabila mereka yang berada di balik komunitas ekonomi gagal untuk berkiprah.